Sabtu, 31 Oktober 2009
Kamis, 22 Oktober 2009
IKUTILAH LATIHAN KADER (LK I) BASIC TRAINING
By. Ketum HAP(@.muhib/bang penti)
HMI merupaka Organisasi Mahasiswa yang di dalamnya terdapat Individu-Individu dari berbagai kampus, dan sudah selayaknya seorang Mahasiswa harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kemahaiswaan baik di Internal Kampus maupun di External Kampus dan itu sebagai suatu pembelajaran kita untuk di masa masa yang akan datang.HmI adalah sebuah wadah untuk mengembangkan minat ide dan bakat.
BERGERAKLAH UNTUK MELAKUKAN SEBUAH PERUBAHAN,KARENA PERUBAHAN TIDAK AKAN DATANG SENDIRINYA.
YAKUSA..!!!
BAHAGIA HmI Cabang Subang.
Rabu, 21 Oktober 2009
KETUA UMUM HMI CAB.SUBANG PRIODE 2009-2010
“ Menuju Ke-SYAHID-an HMI ”
1). S = Solutif berarti mempunyai kemauan dan semangat untuk
menggapai Tujuan yang benar
2). Y = Yakin berarti mempunyai alasan yang Rasional dalam menjalani Kehidupan
3). A = Aktualitas berarti Mengamalkan segala Konsep Teori yang Ideal
dalam bentuk yang Realistis
4). H = Humanity berarti Senantiasa Sadar dalam Berbuat dan Merasakan
Kpekaan Sosial yang tinggi sebagai Kholifatulloh fil’ Ardhi merupakan
Konsep serta Karakter KePemimpinan yang Bijak
5). I = Inovatif selalu mempunya Kreatifitas dan Ekpresi menyambung
lidah kaum mustad’afin dengan Metodologi yang beraneka ragam
6). D = Dinamis Senantiasa Mengusung Nilai Kejuangan Perkaderan
dan Memproses diri, Lingkungan keArah Peradaban Syukur
Kamis, 15 Oktober 2009
Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Sosial
Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Sosial
Oleh, Cucu Kodir Jaelani
Disampaikan dalam Latihan Kader I (Basic Training) Akbar
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Subang
Ada tiga kata kunci dalam judul di atas yang akan coba saya bahas dalam tulisan ini., yaitu kata mahasiswa, kata Islam dan kata perubahan. Tentunya menarik untuk dipertanyakan atau dibayangkan mengapa kita tidak memberi judul "Peran Manula sebagai Agen Perubahan" atau "Peran Mahasiswa Gaul sebagai Agen Perubahan".
Saya mulai dengan kata mahasiswa. Mahasiswa dipilih sebagai pelaku karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa saya definisikan di sini sebagai segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki kemampuan intelektual. Di sini saya tidak membicarakan mahasiswa sebagai orang yang faham teknologi, atau faham ilmu-ilmu sosial, namun saya mengartikan mahasiswa sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam berfikir sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter positif lainnya, antara lain idealis dan energik. Idealis berarti (seharusnya) mahasiswa masih belum terkotori oleh kepentingan pribadi, juga belum terbebani oleh beban sejarah atau beban posisi. Artinya mahasiswa masih bebas menempatkan diri pada posisi yang dia anggap terbaik, tanpa adanya resistansi yang terlalu besar. pemuda biasanya siap sedia melakukan 'kewajiban' yang dibebankan oleh suatu ideologi manakala dia telah meyakini akan kebenaran ideologi itu. Sebagai contoh adalah para shahabat yang bahkan siap meninggalkan malam pertamanya manakala mendengar perintah jihad.
Dengan potensi seperti di atas, wajar jika pada setiap zaman kemudian pemuda memegang peran penting dalam perubahan kaumnya. Kita lihat kisah Ibrahim as sang pembaharu, atau kisah pemuda Kahfi (18:9-26) yang masing-masing begitu sigap menerima kebenaran. Atau orang-orang yang segera menerima dan mendukung Rasulullah saw pun ternyata adalah para pemuda, bukan orang-orang tua yang saat itu menjadi pemuka kaumnya. Bukan Abu Jahal atau Abu Sufyan, tetapi Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah lah yang kemudian mengusung panji-panji Islam. Bahkan Abu Bakar - yang cukup tua pun - saat itu baru berusia 37 tahun.
Ada tiga hal yang harus diperankan oleh pemuda, yaitu:
- Sebagai generasi penerus (AthThur:21); meneruskan nilai-nilai kebaikan yang ada pada suatu kaum.
- Sebagai generasi pengganti (Al Maidah:54); menggantikan kaum yang memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan dicintai Allah, lemah lembut kepada kaum mu'min, tegas kepada kaum kafir, dan tidak takut celaan orang yang mencela.
- Sebagai generasi pembaharu (Maryam:42); memperbaiki dan memperbaharui kerusakan yang ada pada suatu kaum.
Kata kunci yang kedua adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi yang memberikan energi besar bagi perubahan. Hal ini dimungkinkan karena karakter Islam yang mewarnai seluruh aspek kehidupan dan mengatur seluruh bagian manusia. Islam tidak hanya sekedar mewarnai pola pikir, namun dia juga mempengaruhi emosi, perasaan, pemikiran dan juga fisik. Berislamnya seseorang akan melahirkan sebuah totalitas. Dengan adanya syahadah, seorang muslim akan meyakini bahwa dia memang diciptakan hanya untuk beribadah, bahwa tidak ada yang dapat memberikan kemudharatan kecuali atas izin Allah, sehingga dengan demikian tidak ada lagi sesuatupun yang ditakutinya. Kalaupun harus berperang, dia meyakini bahwa apapun hasilnya akan berupa kebaikan. Matinya adalah syahid, dan hidupnya adalah kemuliaan. dengan demikian gabungan kata mahasiswa dan Islam memberikan sebuah energi besar yang berlipat, yang apabila diarahkan dengan baik dapat memberikan sebuah perubahan.
Berbicara tentang perubahan, tentunya akan memunculkan pertanyaan mengapa harus ada perubahan. Di sini ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai jawaban:
- Kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Tidak perlu kita pungkiri bahwa masyarakat (termasuk atau terutama di Indonesia) saat ini masih cukup jauh dari Islam. Contoh yang jelas tampak di permukaan adalah pada moral masyarakat, misalnya korupsi yang membudaya atau adanya pergaulan bebas. Oleh karena itu tidak salah jika ada ulama yang mengatakan kondisi sekarang sebagai jahiliyah modern.
- Perubahan adalah suatu keniscayaan, atau sunnatullah. Artinya suka atau tidak, kita akan menemui perubahan. Kalaupun kita diam, maka ada banyak pemikiran lain (komunis, liberal, dll) yang mencoba mengubah masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena itu, diamnya kita berarti membiarkan 'kekalahan' ideologi yang kita yakini kebenarannya dan membiarkan terjadinya perubahan ke arah yang tidak kita kehendaki. Dalam Ar Ra'd:11, Allah berfirman bahwa “Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah kondisi dirinya sendiri”.
- Melakukan perubahan adalah perintah di dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam suatu hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan kemarin berarti rugi, dan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin adalah celaka. Artinya kalau kita membiarkan kondisi statis tanpa perubahan - apalagi membiarkan perubahan ke arah yang lebih buruk - berarti kita tidak termasuk orang yang beruntung. Juga di dalam Ali Imran:104 Allah memerintahkan agar ada kaum yang menyeru kepada kebaikan - sebagai sebuah perubahan.
Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah mengapa harus saya yang melakukan perubahan, dan bukan orang lain. Secara sederhana jawabannya adalah karena kita adalah orang-orang terpilih. :) Dari sekitar 5 milyar penduduk bumi, hanya 1 milyar yang memeluk Islam, suatu segmen yang tidak terlalu besar. Dari sekian banyak pemeluk Islam, mungkin hanya sekitar 5 % yang menjadi mahasiswa. Berarti kita merupakan sebuah segmen yang sangat kecil. Dan dari sekian mahasiswa muslim, hanya puluhan atau mungkin ratusan yang tertarik mengikuti kajian, atau membaca tulisan bertemakan peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial. Orang-orang yang sedikit ini seharusnya tidak kemudian lepas tangan, yang artinya membiarkan perubahan berjalan ke arah yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain, kita telah sadar akan potensi yang kita miliki dan setiap potensi bermakna adanya tanggung jawab. Makin besar potensi yang dimiliki seseorang, makin besar pula tanggung jawab yang dimilikinya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Rasulullah juga mengingatkan kita untuk mempergunakan lima kesempatan, yang di antaranya adalah masa muda sebelum datangnya tua.
Kesadaran bahwa kita 'harus' menjadi agen perubahan merupakan langkah awal yang kemudian harus dibarengi dengan pemahaman bagaimana cara melakukan perubahan atau ke arah mana perubahan itu kita arahkan. Di dalam surat Ali Imran:104 yang disebutkan di atas, Allah menyebutkan bahwa perubahan itu harus dilakukan ke arah "kebaikan". Dalam tataran praktis, tentu kita harus menyusun tujuan umum ke dalam sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang. Arah kebaikan yang dimaksud adalah Islam dan tauhid, sehingga sebagai tujuan jangka panjang adalah terbentuknya masyarakat dan pemerintahan yang Islami yang lingkupnya tidak hanya Indonesia namun dunia. bisa saja kita memikirkan perubahan kepemimpinan nasional, penggolan agenda reformasi, dst. Tentu dalam menyusun agenda jangka pendek kita perlu memikirkan secara lebih detil, disesuaikan dengan kondisi yang ada dan kondisi ideal yang kita inginkan.
Dalam ilmu sosiologis disebutkan ada dua pandangan tentang perubahan, yaitu pandangan materialistik yang meyakini bahwa tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh teknologi atau benda. Misalnya Karl Marx yang menyatakan bahwa kincir angin menimbulkan masyarakat feodal; mesin uap menimbulkan masyarakat kapitalis-industri. Atau mungkin sekarang kita bisa mengatakan internet menimbulkan masyarakat informasi, dst. Sedang pandangan kedua adalah pandangan idealistik yang menekankan peranan ide, ideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Dalam kaitannya dengan perbincangan kita, pandangan kedua inilah yang lebih mengena, di mana sasaran perubahan kita adalah manusia dan ideologi yang kita bawa adalah Islam.
Juga disebutkan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan perubahan. Yang pertama dengan mengubah individu sehingga kemudian akan mempengaruhi tatanan sosial, kelompok atau organisasi. Yang kedua dengan mengubah kelompok, sehingga perubahan suasana dalam kelompok akan mempengaruhi individu (sebagai contoh orang yang sehari-harinya biasa saja, di dalam suatu momentum lambat laun akan terimbas untuk ikut melakukan amal-amal kebaikan, dll). Yang ketiga adalah menekankan pada perubahan struktur sosial yang kemudian akan menyebar ke seluruh bagian masyarakat. Kita bisa dan perlu melakukan ketiganya secara simultan, hanya saja perlu ditekankan bahwa perubahan yang langgeng adalah yang berasal dari pemahaman individu.
Padahal, dalam berbagai lintasan sejarah, dapat disimpulkan bahwa ada dua model umum bagi kaum muda dalam menyampaikan kritiknya. Pertama, Melalui gerakan aksi turun ke jalan. Bentuk gerakan ini, mulai dari demonstrasi, mimbar bebas, sampai pada aksi berbaris massal mendatangi sejumlah intansi yang diperkirakan dapat menyelesaikan persolan yang dikeluhkan oleh kaum pelajar. kritik-kritik dalam bingkai aksi turun kejalan sudah terasa mandul, sehingga perlu ada gerakan-gerakan di luar itu guna menyuarakan aspirasi masyarakat. Nyatanya, tradisi turun ke jalan kerapkali menjadi pemandangan yang sering kita jumpai di berbadai media, baik media elektronik maupun cetak. Alih-alih rasa perjuangan tanpa pamrih, kesadaran kolektifitas, tetesan darah dan air mata pun menajdi melekat di jiwa generasi bangsa.
Kedua, Gerakan Intelektual. Gerakan ini biasanya dilakukan oleh generasi muda melaui berbagai kajian, diskusi, talk sow, seminar sehari, dan pertemuan ilmiah, baik di dalam maupun luar kampus. Namun, kegiatan itu, dinilai oleh sebagian mahasiswa merupakan gerakan lamban dan tak begitu membuahkan hasil yang memuaskan.
Aksi protes mahasiswa sebetulnya tak perlu ditakuti, kalau pemerintah merasa takut terhadap aksi protes mahasiswa tegakanlah keadilan, berantas korupsi, kembalikan hak rakyat, ciptakan pemerataan, hilangkan kebiasaaan kongkalingkong dengan penguas dan jalankan demokrasi yang benar. Aksi mahasiswa tak bisa diredam dengan undang-undang, tindakan persuasif maupun refresif. Selama masih ada ketidak adilan, korupsi, penindasan hak asasi, otoriterian, aksi protes dari mahasiswa maupun rakyat akan selalu bermuncul kendati dalam bentuk yang berbeda-beda.
Terakhir ada dua kata kunci yang perlu diingat dalam melakukan perubahan ini, yang pertama adalah pembinaan (perkaderan) sehingga akan memberikan pemahaman dan motivasi yang langgeng. Dan yang kedua adalah kerja keras dengan beramal, karena Allah hanya menilai amal dan usaha kita bukan hasil dari usaha kita.
Wallahu a'lam.
PAMPLET LK I AKBAR
HMI merupaka Organisasi Mahasiswa yang di dalamnya terdapat Individu-Individu dari berbagai kampus, dan sudah selayaknya seorang Mahasiswa harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kemahaiswaan baik di Internal Kampus maupun di External Kampus dan itu sebagai suatu pembelajaran kita untuk di masa masa yang akan datang.
BERGERAKLAH UNTUK MELAKUKAN SEBUAH PERUBAHAN,KARENA PERUBAHAN TIDAK AKAN DATANG SENDIRINYA.
YAKUSA..!!!
BAHAGIA HmI Cabang Subang.
LK 1 AKBAR
MAHASISWA SUBANG BERSATU.
bagi tmn2 mahsiswa subang yg belum gabung sama HMI saya undang untk ikut Latihan Kader 1 Akbar se-kab.subang jum'at-minggu 16-18 okt 2009 mulai pkl.08.00 brmanfaat banget dapetin segera formulirnya disekre HMI Jl.otist.....................a no.99 atw hub no sy 085295993820...
bagi tmn2 mahsiswa subang yg belum gabung sama HMI saya undang untk ikut Latihan Kader 1 Akbar se-kab.subang jum'at-minggu 16-18 okt 2009 mulai pkl.08.00 brmanfaat banget dapetin segera formulirnya disekre HMI Jl.otist.....................a no.99 atw hub no sy 085295993820...
Rabu, 07 Oktober 2009
NILAI DASAR PERJUANGAN
NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP) - NEW MILLENNIUM VERSION - KATA PENGANTAR Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan konseptual yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang taktis atau operasional. Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan, dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa Islam (HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim 8 di cabang Makasar Timur. Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan dan kerangka Berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggap penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigma determenistik dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran Islam secara logis dengan pendekatan deduktif. Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar perjuangan adalah pertama: Hakikat penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua: manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip tentunya dalam kaca mata Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempurna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi sprtitual, Al-qur’an melihat bahwa ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas bukan fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran meteri dari kemerdekaan manusia dan keniscyaan universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan sosial dan sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara substansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang sistematis. Pada kesempatan ini secara khusus Bakornas LPL HMI mengucapkan terima kasih kepada Kanda Muhammad Anwar (Cak Konyak) selaku Kabid PA PB HMI Priode 2003-2005 yang telah memberikan support penuh sehingga terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini. Selain itu kepada Badko HMI Nusra dan HMI Cabang Makasar Timur yang telah memfasilitasi proses penulisan teks NDP, serta pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi NDP ini, semoga Allah SWT membalas dengan setimpal. Demikianlah pengantar dari Bakonas LPL PB HMI, mudah-mudahan kerja keras dan niat yang tulus ini mendapatkan Ridho dan Berkah-NYA serta bermanfaat buat kader-keder HMI dalam menata lebih jauh format pengkaderan di organisasi yang tercinta ini. Yakin Usaha Sampai. Billahi Taufiq Walhidayah
Wassala’mu Alaikum Wr, Wb. BAKORNAS LPL HMI: ENCEF HANIF AHMAD (Ketua Umum)
HASBULLAH (Sekertaris Umum)
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri. Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya. Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang. Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar. Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan. Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal. BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna. Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada. Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri. Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial. BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka - mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekono mi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya. Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis). Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat - alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh alat - alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari individu - individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis - borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistik. Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya. Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme). Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al- Quran yang artinya: ....tidak kita sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah (QS.3:64). Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidakadilan ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka (QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak, QS.72:16). Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT. Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif keadilan. BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya. Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan lainnya. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam. Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam. Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri. Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika). Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika. Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi. Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya. Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika. YANG PERLU DITANYAKAN DI UNIVERSITAS SUBANG: Masalah AKADEMIK : Pembagian Administrasi yang masih tumpang tindih baik tiap-tiap Fakultas-fakultas ataupun skala kelembagaan universitas. Dosen-dosen yang ada belum bisa professional dalam memberikan kuliah dan ada yang jarang masuk termasuk memindahkan waktu tanpa ada kesepakatan dengan mahasiswa. Absensi belum objektif dalam pengarsirannya. Fasilitas-fasilitas yang kurang memadai baik untuk praktikum, aktifitas pengurus BEM, BLM, dan UKM_UKM lainnya. Pengelolaan Dekan-dekan fakultas yang jauh dari proporsional juga professional belum mampu untuk bisa mengkomunikasikan secara baik kepada mahasiswa yang di fasilitasinya. MASALAH Transparansi Bantuan dan Anggaran: Subsidi-subsidi Beasiswa bagi mahasiswa baik itu UD, PPA, Minat bakat, Aktifitas dan Aktifis kampus, BKM dan subsidi lainnya. Dana bangunan fisik dan fasilitas. Anggaran biaya pembekalan Almamater, KKN, dan penelitian-penelitian lainnya. Biaya koperasi, asuransi, perpustakaan juga fasilitas transportasi. Akreditasi masih belum untuk fakultas-fakultas yang baru.