KONSEP ONTOLOGI DALAM FILSAFAT SHADRA
( FILSAFAT GERAK )
Filsafat Shadra juga terkenal dengan sebutan Filsafat Hikmah = kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argument rasional. kaitannya dengan ini, ontologi /wujud merupakan kata kunci dalam memahami filsafat Shadra. Karena seluruh bangunan epistemologi filsafat Shadra (filsafat hikmah) bertumpu pada wujud. Setiap paparan tentang Filsafat Hikmah pastilah diawali dari kata kuncinya: wujud (Being). Begitu sentralnya gagasan tentang wujud dalam filsafat ini sehingga sebagian orang tak segan-segan menyebut Hikmah sebagai semacam eksistensialisme Islam. muncul dua konsep yakni eksistensi (ada/wujud) yang benar-benar ada itu adalah eksistensi(ada) dan bukan esensi (mahiyah). Esensi tidak akan bersarti tanpa eksistensi. Oleh karena itu, yang paling substansial adalah bahwa eksistensi atau wujud merupakan keniscayaan, ia tidak terbatas dan tidak bermateri. Ia (wujud) mencakup segala hal, mulai dari dzat kudus ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun kasiden dan baik esensi maupun keadaan. Sebaliknya yang namanya esensi (mahiyah) merupakan ketidakniscayaan, terbatas (partikularistik) dan mempunyai materi.
Dalam konteks ontologi Shadra, seluruh realitas merupakan refleksi wujud. Bahwa wujudlah yang memberikan realitas kepada segala sesuatu dan bahwa mahiyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan suatu tindakan tertentu wujud. Pada tataran ontologis apa yang disebut dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tuhan, planet-planet dan sejenisnya adalah hal yang sama, yakni wujud. Artinya wujud yang ada pada manusia secara ontologis, adalah wujud yang ada pada binatang, wujud yang ada binatang adalah wujud yang juga ada pada tumbuh-tumbuhan dan seterusnya. Oleh karena itu pada eksisistensi /ontologis ini segala macam perbedaan mahiyyah atau esensi menjadi meaningless. Karena semuanya adalah wujud yang satu. Segala keragaman dan partikularitas hanya ada pada tataran esensi.
Kesatuan ontologis ini secara fungsional merupakan starting poin untuk mengantarkan kepada ilmu hudluri yang merupakan sebagian prinsip-prinsip filsafat hikmah itu sendiri. Ilmu hudluri ini merupakan pola relasi antara subyek dan obyek yang pada level ontologis telah lebur menjadi satu. Secara tehnis, sebuah subyek yang berrelasi dengan obyek ini sama halnya hubungan antara ada dengan ada (sewasubyek). Baik subyek maupun obyek adalah ada itu sendiri. Maka ketika subyek berrelasi dengan obyek sama halnya ia (sang subyek) menegaskan dirinya sendiri. Dengan demikian tentu saja ia hadir, dan ketika ia hadir maka sejatinya terjadilah peleburan antara subyek dan obyek.
Dalam filsafat hikmah ini terdapat prinsip. Karena, prinsip-prinsip utama semuanya bersifat hudhuri (swabukti atau self-evident), sehingga pengukuhan filsafat ini dapat dilakukan secara introspektif.
Musa Kazim dalam hal ini meyebutkan prinsip-prinsip utama filsafat hikmah: Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa perantara konsep lain (badihah mafhum al-wujud).Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal (mafhum al-wujud musytarakun ma’nawi). Ketiga, prinsip yang disebut dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya. Di luar itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah rekaan/ gerak manusia (i’tibariyah).
Keempat, untuk menjelaskan keberagaman wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykik al-wujud. Intinya, wujud yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat. Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah cahaya sebagai realitas yang bergradasi. Kelima, setiap titik dalam wujud yang bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah) diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fi’li). Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah. Keenam, gerakan substansial dalam konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya.
Dalam pembahasan wujud Shadra ini ada tiga kata kunci yang bisa digunakan untuk pisau analisis yaitu, Ashaltul Wujud Wahdatul, Tasykiqul wujud, dan al-Harakatul al-Jauhariyyah. Untuk ashalatul wujud ini pada prinsipnya sudah disinggung di atas merupakan konsep yang menyatakan bahwa wujud itu adalah tunggal, yakni antara wujud Tuhan yang transendental dengan manusia dan alam semesta yang imanen ini merupakan realitas yang satu.. Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam filsafat antara eksistensi dan esensi (mahiyyah). Pada perbedaan ini yang dipersoalkan adalah manakah yang penting antara dua hal tersebut yakni eksistensi dan esensi? Sebagaimana gurunya, Mir Damad. Mulla Shadra menyatakan bahwa wujud atau eksistensilah yang penting. Karena seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa wujudlah (eksistensi) yang memberikan keber-Ada-an pada esensi.
Sementara Tasykiqul Wujud atau lebih dikenal dengan gradasi wujud atau ambiguitas wujud. Dalam hal ini ditegaskan bahwa wujud tidak hanya satu atau tunggal, tetapi juga beragam atau plural, merentang dalam suatu gradasi atau hirarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi pasir di pantai. Setiap tingkat wujud yang lebih tinggi mengandung semua realitas yang termanifestasi pada tingkat di bawahnya. Bagi Mulla Shadra, wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi atau tahap yang berbeda. Jadi yang perlu digraisbawahi dalam konsep ini adalah bahwa wujud adalah satu sementara tahapan-tahapan wujudlah yang berbeda. Tapi sekali lagi, tahapan-tahapan wujud ini hanya ada dalam level esensi atau mahiyyah dan bukan pada level eksistensi karena pada level eksistensi selain semua wujud satu, ia tak mempunyai jarak atau sekat apapun.
Konsep ketiga adalah al-harakatul Jauhariyyah (Gerak substansial). Gerak sendiri definisinya adalah perpindahan dari satu titik ke titik yang lain. Karena yang sifatnya yang demikian itu, maka sudah jelas bahwa gerak ini sifatnya tergantung, ia ada dalam alam esensi dan oleh karena itu ia tidak niscaya atau serba mungkin. Karena sifatnya yang serba mungkin itu maka gerak mempunyai berbagai kemungkinan. Artinya gerak mempunyai kemungkinan pindah atau perubahan yang tak terbatas. Sebagai contoh batu. Batu ini kalau dipecah terus menerus maka, secara aqal ia akan terus terurai sampai tak terbatas, meskipun secara materi ia bisa habis. Karena ketakterbatsannya inilah maka gerak tentu mengandung substansi, karena substansi itu sendiri adalah eksistensi yang tak terbatas. Kalau memang gerak itu tidak mengandung substansi maka sudah barang tentu gerak itu akan berhenti pada satu titik. Padahal secara aqal itu tidak mungkin. Dari sini bisa ditarik benang merah, ternyata yang namanya materi itu kembali pada yang satu yakni Ada itu sendiri.
Gerak substansial ini merupakan sanggahan Mulla Shadra terhadap filsafat Ibnu Shina yang mengikuti filsafat Aristoteles dengan menerima gerak hanya dalam kategori-kategori kuantitas, kualitas, situasi, dan ruuang atau tempat, yang semuanya adalah aksiden dan tak memungkinkan adanya gerak dalam kategori substansi. Dalam hal ini Mulla Shadra menegaskan bahwa setiap perubahan aksiden suatu obyek sebenarnya mensyaratkan perubahan substansinya karena aksiden tidak mempunyai eksistensi yang bebas dari substansi. Ia menegaskan bahwa selalu ada “beberapa subjek” (maudhu’un) bagi gerak sekalipun kita tidak menetapkan dan menentnukannya berdasarkan logika..
Kesimpulan
Dari uraian di atas bisa ditarik benang merah bahwa Ada selamanya ada, karena itu tidak berasal dari ketiadaan. Karena ketiadaan tidak mempunyai keberadaan maka secara otomatis ia tidak mungkin ada dan mengadakan. Maka dari itu wujud adalah keniscayaan, tak terbatas dan universal. Perkara dualisme dan pluralisme itu merupakan sebatas esensi belaka.
Oleh karena itu, filsafat wujud Mulla Shadra ini merupakan konsep yang berusaha menjembatani berbagai perbedaan dan oposisi biner yang diciptakan oleh manusia di dunia. Oposisi biner itu seperti surga -neraka, dunia -kahirat, khaliq-mahluq tuhan-alam semesta, materi-nonmateri, transenden-imanen dan sejenisnya. Semuanya itu luruh dalam filsafat Shadra.
Filsafat Rasa Hidup
Filsafat ialah pengetahuan tentang segala apa yang ada. Filsafat memberi jawaban atas pertanyaan "Apakah hakikatnya segala yang ada di atas bumi dan di kolong langit?"
Segala apa yang ada ini dapat dibagi dua bagian, yaitu benda hidup dan benda tidak hidup.
Benda tidak hidup tidak bergerak, kecuali bila digerakkan oleh benda lain. Sedangkan benda hidup bergerak walaupun tidak digerakkan oleh benda lain. Dengan demikian maka hidup itu bersifat gerak pribadi (dapat bergerak sendiri).
Gerak dan diam ialah sifat laku (bhs. Jawa: lelampahan). Diam ialah tetap pada tempatnya, dan bergerak ialah berpindah tempat, walaupun yang bergerak hanya bagian benda itu. Jadi hidup itu bersifat gerak. Yang bergerak ialah satu persatu benda jadi. Wujud satuan benda jadi ialah hewan, manusia, meja, kursi dan sebagainya. Wujud manusia sebagai benda disebut badan (raga). Raga manusia senantiasa dapat bergerak sendiri. Jadi mati/ tidak bergerak ialah tidak lagi dapat bergerak sendiri.
Kalau kita mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas/ hidup ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda, menimbulkan persoalan yang berupa pertanyaan sebagai berikut, "Bila orang telah meninggal, maka akan ke manakah hidupnya?". Teranglah pertanyaan ini menanyakan tempat benda, yaitu si hidup yang dianggapnya benda.
Yang memerlukan tempat =benda, tetapi gerak tidak memerlukan tempat. Misalnya duduk ialah suatu gerak, dan oleh karena itu tidak memerlukan tempat. Yang membutuhkan tempat ialah raga yang duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang memerlukan tempat di kursi ialah raga si Dadap.
Laku dapat dibagi-bagi menurut artinya. Bagian-bagian laku merupakan rentetan kejadian yang saling kait-mengait dalam hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di dalam waktu (jaman). Maka laku memakan waktu.
Benda hidup dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Benda hidup yang dinamakan manusia, ia merasa hidup. Rasa hidup inilah yang mendorong manusia bergerak.
Bahkan bukan saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup, tumbuh-tumbuhan atau hewan, juga didorong oleh rasa hidup. maksud gerak semua benda hidup ialah supaya hidupnya berlangsung terus. Maka rasa hidup menolak kematian.
Sebagai contoh, misalnya pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah mencari makanan, tentu dengan maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak disadari. Setelah besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja, tetapi tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian menjadi buah. Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah, yang kemudian tumbuh menjadi pohon mangga lain lagi.
Di sini jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam maksud, yakni agar dapat melangsungkan hidupnya dan melangsungkan jenisnya. Demikian juga maksud gerak hewan dan manusia. Maka maksud gerak bagi pohon, hewan dan manusia ialah sama, yaitu supaya dapat melangsungkan hidup dan jenisnya.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti makan, berpakaian, bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang, papan) disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa jiwa). Bila tidak makan, manusia akan menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka makan ialah kebutuhan hidup. Kegunaan pakaian ialah untuk melindungi badan dari hawa panas atau dingin. Karena bila terserang panas atau dingin yang hebat, badan menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup. Kegunaan tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur orang menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka tempat tinggal atau perumahan merupakan kebutuhan hidup.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan jenisnya berupa perkawinan. Bila tidak kawin, orang tidak dapat beranak-cucu, hingga habislah jenis manusia. Maka perkawinan merupakan kebutuhan hidup.
Demikianlah, "pangupa jiwa" dan perkawinan menjadi kebutuhan hidup. Bila kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati atau tidak akan berketurunan. Oleh karena itu, bila kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, orang merasa senang dan bila tidak, orang merasa susah. Maka rasa hidup ini menimbulkan takut mati dan takut tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk menghindari apa yang dapat menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan.
Penyakit, kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan sebagainya, merupakan sebab kematian. Yang menyebabkan tidak berketurunan, ialah tidak dapat jodoh, perceraian, mandul, dan sebagainya. Jadi takut mati dan takut tidak mempunyai keturunan, menurut rasa hidup ialah wajar.
Bila jiwa mengalami kelainan, sering orang melakukan pantang makan, pantang tidur, pantang istri/suami dan sebagainya. Kelainan jiwa ini disebabkan karena keinginan memperoleh keunggulan dalam suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari Yang Mahakuasa. Menolak kebutuhan hidup demikian itu tidak wajar.
Menolak kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang batin mengakibatkan penderitaan. (bhs. Jawa: cilaka).
Bagaimanakah perang batin itu timbul? Seseorang yang pantang makan tentu akan merasa lapar. Di situ rasa ingin makan bertentangan dengan rasa pantang makan, maka terjadilah perang batin. Dalam perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi "yang ingin makan", dan kadang-kadang menjadi "yang pantang makan". Ketika menjadi "yang ingin makan", rasanya "aku ingin makan". Ketika menjadi "yang pantang makan", rasanya "aku pantang makan". Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah godaan. Seolah-olah dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan seorang bila timbul perang batin, sehingga sangat sukar untuk mengatakan yang manakah dirinya sendiri.
Apabila orang menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa keinginannya memperoleh keunggulan atau karunia, perang batin itu sirna. Lenyapnya perang batin, membangunkan rasa tenteram.
CONTOH :
Mengaku Islam, bukan hanya dzikir dan diam di dalam Masjid, tapi harus diikuti pula nalar pikir menguak keajaiban hikmah Illahiyah, kemudian diterjemahkan dalam bentuk atau gerak yang realistik, yakni gerak prestasi hidup. Dari simbol ini (Sholat), tampaklah jelas bahwa tiap muslim adalah tipikal manusia dinamis, yang bergerak terus maju, tak mau diam, selalu saja ingin berbuat sesuatu yang positif. Berpikir positif, berilmu positif dan akhirnya membuahkan karya yang positif pula.
Shalat juga menunjukkan sikap untuk tegak berdiri menapaki kehidupan dunia nyata melalui prilaku yan jelas, terarah, dan memberikan pengaruh pada lingkungan. Sikap yang demikian, insya Allah akan menjadi upaya batin untuk mendapatkan kekuatan lahir, 'manundukan dunia' (bukan sebaliknya malah ditundukkan dan dikuasai oleh dunia), serta mampu menampilkan diri sebagai Khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini dengan baik.
Shalat adalah awal dari kesiapan kita untuk menerima amanah maha berat. Bagi orang yang memahami makna shalat, sesungguhnya ia akan mengejar waktu amanat tersebut, karena dengan shalat, dia menpunyai kekuatan untuk hidup melaksanakan amanat Allah; mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan dan mengangkat derajat mereka dari kegelapan. Karena itu, wajarlah, melalui shalat ini dalam diri mereka akan muncul sikap optimis yang luar biasa.
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar