Minggu, 31 Januari 2010

pengertian hukum pidana internasional

mendefinisikan suatu obyek, termasuk hukum dan pelbagai cabang serta sub cabangnya merupakan pekerjaan yang gampang-gamoang sukar. dikatakan gampang karena obyek itu sendri demikian mudah untuk dikenali meskipun hanya pada sisi luarnya saja. dikatakan sukar, sebab substansi dari obyek yang didefinisikan seringkali sukar untuk dipahami atau pemahaman atas obyeknya itu seringkali tidak utuh atau bulat, tetapi dipahami hanya sebagian-sebagian saja. oleh karena itu, dapat dimengerti, bahwa definisi dari para sarjana tentang suatu obyek bisa berbeda-beda antara satu dengan lainnya. namun karena adanya kebutuhan untuk mendefinisikannya, mau tidak mau pendefinisiannya itu harus dilakukan, terlepas dari kekurangan atau ketidak sempurnaannya.

demikian pula halnya dengan pendefinisian hukum pidana internasional itu sendiri, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. dalam rangka untuk mengerti dan memahami hukum internasional, mau tidak mau pendefinisian harus dilakukan. dalam hal ini, berlaku suatu adagium, bahwa adanya suatu definisi dari obyek yang akan dipelajari betapapun tidak sempurnanya, masih lebih baik daripada tidak ada definisi sama sekali.

secara ringkas, hukum pidana internasional dapat didefinbisikan sebagai berikut:

hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional.

definisi ini tentulah sangat singkat dan umum sehingga belum menggambarkan tentang apa sebenarnya hukum pidana internasional itu. meskipun definisi ini masih sangat singkat dan umum, namun sudah menggambarkan secara singkat tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional. ada dua hal yang secara eksplisit dapat ditemukan dalam definisi ini.

  1. hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidaj atau asas-asas hukum.
  2. obyek yang diaturnya adalah tentang kejahatan atau tindak pidana internasional.

disamping dua hal yang eksplisit, masih ada lagi hal yang secara implisit terkandung didalamnya yang pada umunya merupakan hal yang sudah biasa dalam suatu ilmu hukum, tetapi tidak dimunculkan didalamnya yakni, tentang subyek-subyek hukum dan apa tujuannya. tegasnya, siapakah yang merupakan subyek dari hukum internasional itu dan tujuan apa yang dikehendaki atau diwujudkannya.

atas dasar itu maka dapatlah dirumuskan definisi yang lebih lengkap tentang hukum pidana internasional, sebagai berikut:

hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dari asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subyek-subyek hukumnya, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

berdasarkan definisi ini dapatlah ditarik adanya 4 unsur yang secara terpadu atau saling kait antara satu dengan lainnya, yaitu:

  1. hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum,;
  2. hal atau obyek yang diaturnya, yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional;
  3. subyek-subyek hukumnya, yaitu, pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional;
  4. tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana internasional itu sendiri.

HKM PID Internasional

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA1
PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,SH,LL.M.2
PENGANTAR
Hukum pidana Internasional dan Hak Asasi Manusia(HAM) berkaitan erat satu sama lain.Selain itu, Hukum Pidana dan hukum pidana internasional bersifat komplementaritas satu sama lain,sekalipun keduanya dapat dibedakan. Hukum pidana internasional telah mengatasi kelemahan-kelemahan hukum pidana yang merupakan hukum positif khususnya menghadapi kejahatan lintas batas territorial. Hukum tentang hak asasi manusia yang merupakan hukum dasar untuk memahami hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi dan hak social, telah menanamkan dan memberikan semangat serta jiwa baru yang tidak pernah disentuh di dalam sejarah perkembangan hukum pidana klasik sejak abad ke 18 yang lampau.
Semangat dan jiwa baru tersebut adalah, bahwa proses legislasi dan implementasi hukum pidana perlu ditingkatkan, tidak hanya mempersoalkan wewenang penguasa dalam konteks hubungan hukum dengan warga masyarakatnya; melainkan harus dilihat juga dalam perspektif apakah hubungan hukum tersebut di atas membawa keadilan dan kesejahteraan bagi warga
1 BAHAN PELATIHAN HUKUM HAM;DISELENGGARAKAN OLEH PUSHAM UII YOGYAKARTA TANGGAL 23 SEPTEMBER 2005
2 GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD 1
masyarakatnya baik di dalam bidang hukum,social, ekonomi maupun dalam bidang politik.
Dalam konteks mikro, semangat dan jiwa baru tersebut juga adalah bahwa hukum pidana harus merupakan norma tingkah laku yang patut dan tidak patut dilakukan serta sekaligus memelihara hubungan yang harmonis antara pemegang kekuasaan (negara) dengan masyarakatnya. Yang dimaksud dengan hubungan hukum yang harmonis adalah, bahwa pembentukan norma-norma hukum pidana tersebut sejauh mungkin tidak bertentangan dengan hak-hak dasar anggota masyarakatnya baik di bidang hukum, politik, ekonomi maupun di bidang social sehingga hukum pidana bukan lagi merupakan ancaman terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya sendiri.
Sebaliknya hukum pidana diharapkan berfungsi sebagai pengayom yang berwibawa dalam konteks hubungan tersebut. Bagaimana bisa hukum pidana berfungsi sedemikian? Jawaban atas pertanyaan tsb selalu negative karena tidak ada satu negarapun di dunia saat ini yang memiliki hukum pidana yang memiliki fungsi sedemikian. Sifat hukum pidana sejak awal kelahirannya tetap memiliki fungsi represif di samping fungsi preventif dalam arti yang prospektif. Hukum pidana adalah hukum pidana prospektif; hukum pidana untuk pedoman tingkah laku manusia di masa yang akan datang. Di manakah letak fungsi pengayomannya? Hukum pidana harus menjaga agar selalu terdapat keseimbangan antara hak-hak dasar manusia dan kewajiban asasi manusia.3 Kedua semangat dan jiwa yang
3 Hukum pidana dengan fungsi represif khusus adalah Undang-undang Nomor 11 tahun 1963 tentang Subversi yang sudah dicabut dan sebagian substansinya dimasukkan ke dalam
2
diberikan kepada perkembangan hukum pidana itu merupakan cirri khas /karakteristik model hukum pidana abad 21.
Timbul pertanyaan kemudian, apakah perkembangan hukum pidana abad 21 sudah berubah dari pendekatan, “daad-dader strafrecht” kepada, “daad-dader-victim strafrecht”. Jawaban atas pertanyaan tersebut harus dijawab benar adanya karena, di beberapa negara barat terutama Perancis, hukum pidana dan hukum acara pidana telah memasukkan ketentuan untuk melindungi hak pihak ketiga (korban kejahatan) untuk melakukan proses “civil litigation”, disamping proses penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum selama ini.4
Ketentuan Pasal 35 Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN Convention Against Corruption,2003) dengan judul, “Compensation for Damage” telah memasukkan hak pihak korban(pihak ketiga) karena tindak pidana korupsi untuk melakukan tuntutan perdata sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
“Each State Party shall take such measures as may be necessary in accordance with principles of its domestic law, to ensure that entities or persons who have suffered damage as a result of an act of corruption have the right to initiate legal proceedings against those responsible for that damage in order to obtain compensation”.
rancangan KUHP baru. Undang-undang Kepailitan, Pasar Modal, dan UU Pencucian Uang selain memiliki fungsi pengaturan (regulative) juga memiliki kedua fungsi baik preventif maupun represif. UU tentang Pemberantasan Terorisme, merupakan UU yang memiliki fungsi lebih represif atau dekat kepada fungsi represif khusus di bandingkan dengan UU tentang Pemberantasan Korupsi.
4 Di dalam Perubahan Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Perancis (Code d’ Instrution Penale tanggal 31 Mei tahun 2002, perubahan atas UU lama tahun 1808 dan 1958; telah dimasukkan hak tersangka dan Korban dengan menggunakan pendekatan “keseimbangan” atau asas proposionalitas. Pasal 1 ayat I UU tersebut menegaskan: “The Criminal Procedure must be fair and give due hearing to the parties and preserve balance between parties’ rights. “ Pasal 2 dan 3 UU tsb menyatakan bahwa, penuntutan dapat dilakukan bukan hanya oleh Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga oleh korban atau kuasa hukumnya, melalui suatu yang disebut “Civil Action”.(lihat dan baca, Catherine Elliot,”French Criminal Law”;page 12, 32-33;Willan Publishing; 2001)
3
Di dalam proes peradilan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights), berdasarkan Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) telah tercantum ketentuan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi di bawah judul “Reparation to Victims” (Pasal 75). 5 Bab VI Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur ketentuan tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi, karena disusun atas dasar tiga paradigma (Triangle Paradigm) yaitu, Perlindungan NKRI, Perlindungan terhadap Korban, dan Perlindungan terhadap Tersangka.6
Hukum pidana internasional memasukkan pendekatan aspek hukum internasional ke dalam pengkajian hukum pidana nasional antara lain masalah yurisdiksi 7untuk menjangkau berlakunya hukum pidana nasional terhadap setiap kejahatan yang melampaui batas territorial atau kejahatan transnasional8 atau dikenal “extraterritorial jurisdiction”; pengembangan asas-asas hukum pidana baru yang relevan dengan sifat transnasional dan internasional dari suatu kejahatan tertentu seperti asas au dedere au punere dan asas au dedere au judicare; asas
5 Pasal 75 (ayat 1) berbunyi: “The Court shall establish principles relating to reparations to, or in respect of, victims, including restitution, compensation and rehabilitation”.
6 Baca Romli Atmasasmita, “Latar Belakang dan Paradigma Pemberantasan Terorisme berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 (Percetakan Negara tahun 2002).
7 lihat dan perdalam ketentuan Pasal 2 sd Pasal 8 KUHP, dan baca Remmelink, Hukum Pidana;PT Gramedia Jakarta, 2003; halaman 368 sd halaman 395.
8 Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000 menegaskan sifat/karakter transnasional dari kejahatan transnasiional dapat diukur dari 4(empat) hal, pertama, locus delicti terjadi pada lebih dari satu negara; kedua, locus delicti di satu negara tetapi perencanaan, pengendalian dan pengarahan dilakukan di negara lain; ketiga, locus delicti di satu negara akan tetapi melibatkan organisasi kejahatan yang bergerak dalam kejahatan di lebih dari satu negara; dan keempat, dilakukan di satu negara akan tetapi berdampak di negara lain( dikutip dari, “Legislative Guide For The Implementation of The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Ptotocol Thereto”; UNODC,tanpa tahun).
4
komplementaritas; asas non-retroaktif terbatas; asas non bis in idem terbatas;dan asas primacy.9
Hukum pidana internasional dalam arti praktis adalah cabang hukum baru yang dapat memberikan solusi hukum yang tepat terhadap timbulnya sengketa yurisdiksi kriminal antara dua negara atau lebih. Bahkan lebih jauh perkembangan hukum pidana internasional telah menuntut para ahli hukum pidana untuk selalu membuka diri, tidak bersikap konservatif serta harus bersikap proaktif mengantisipasi perkembangan internasional dalam setiap kejahatan yang melibatkan yurisdiksi dua negara atau lebih atau melibatkan dua kewarganegaraan yang berbeda.10
Hukum Pidana Internasional: cabang baru ilmu hukum pidana= hukum pidana kontemporer= hukum pidana modern.
Tiga pertanyaan pokok dan penting yang dapat diajukan untuk mengetahu selukbeluk hukum pidana internasional. Ketiga pertanyaan tsb adalah, pertama, apakah hukum pidana internasional itu; kedua, mengapa hukum pidana internasional; dan ketiga, bagaimana posisi hukum pidana internasional dalam konteks pohon ilmu hukum (teoritik), dan dalam fungsi komplementer dalam penerapan hukum pidana (praktis).
Pertanyaan pertama, merujuk kepada definisi hukum pidana internasional11 yang sudah ditulis banyak ahli hukum pidana
9 lebih jauh baca, Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional; halaman 14).
10 Uraian lengkap tentang teori yurisdiksi dilihat dari aspek hukum internasional dapat dipelajari dari kepustakaan hukum internasional,seperti Oscar Schacter, Starke, Brownlie, Bassiouni, Harris, dan David Gerber. Uraian tentang perluasan asas territorial dalam konteks tindak pidana narkotika transnasional diuraikan dalam suatu disertasi oleh Romli Atmasasmita, “Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”, yang diterbitkan oleh Penerbit Citra Aditya Bhakti,Bandung.
11 Dalam buku Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional” (cetakan kedua, Juni 2003) halaman 19 sd 39; diuraikan 6(enam) pendapat ahli hukum pidana internasional; diantaranya pendapat Cherrif Bassiouni seorang Ahli hukum pidana internasional warga negara AS keturunan Mesir yang berjasa merumuskan ketentuan Statuta Roma atau Statuta
5
internasional. Para Ahli hukum memiliki perbedaan pandangan tentang definisi hukum pidana internasional dan tergantung dari latar belakang keahliannya12. Diantara beberapa definisi tersebut Bassiouni telah mengemukakan satu definisi sebagai berikut:
“International Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are:the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law”.
Aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional merujuk kepada konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan13; aspek hukum internasional terhadap hukum pidana nasional merujuk kepada prosedur penerapan konvensi internasional ke dalam hukum nasional atau penegakan hukum pidana internasional14.
Keterkaitan dua aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek yang sama menyebabkan Bassiouni mengatakan bahwa, hukum pidana internasional sebagai, “ a complex legal discipline” yang terdiri dari beberapa komponen yang terikat oleh hubungan fungsional masing-masing disiplin tersebut di dalam mencapai satu nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni, disiplin hukum tersebut adalah, hukum internasional, hukum pidana
International Criminal Court (berlaku efektif 1 Juli tahun 2002). Bassiouni berhasil mendefiniskan hukum pidana internasional ke dalam dua pendekatan yaitu pendekatan hukum nasional dan pendekatan hukum internasional dengan mengembangkannya menjadi dua bagian penting yaitu hukum pidana substantive ( aspek pidana terhadap hukum internasional), dan hukum acara pidana yang merupakan aspek internasional dari hukum pidana (nasional).
12 Kajian teoritik mengenai perkembangan hukum pidana internasional menemukan 6(enam) definisi tentang pengertian hukum pidana internasional. Satu diantara definisi tersebut yang cocok dengan perkembangan hukum internasional masa kini adalah dari Bassiouni(lihat buku Romli Atmasasmita, Bab II).
13 Bassiouni meneliti dan menemukan kurang lebih 22 (dua puluh dua)Konvensi internasional yang memuat tentang kejahatan2 transnasional dan kejahatan internasional.
14 Bassiouni membedakan antara “direct enforcement system” dan “indirect enforcement system”. 6
nasional, perbandingan hukum dan prosedur, serta hukum humaniter internasional dan regional. 15
Aspek pidana dari hukum internasional bersumber pada kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum hukum internasional sebagaimana dimuat dalam Pasal 38 International Court of Justice (ICJ) termasuk: kejahatan internasional; unsure-unsur pertanggungjawaban pidana internasional ; aspek prosedur penegakan hukum langsung(direct enforcement system); dan aspek prosedur penegakan hukum tidak langsung (indirect enforcement system). Aspek internasional dari hukum pidana nasional meliputi: norma-norma yurisdiksi ekstrateritorial; konflik yurisdiksi kriminal baik antar negara maupun antara negara dan badan-badan internasional di bawah naungan PBB; dan penegakan hukum tidak langsung.16
Bassiouni mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum pidana internasional maka disiplin hukum ini pada intinya merupakan “cross fertilization” aspek pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.
Remmelink mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Bassiouni dengan mengatakan sebagai berikut:
“Karena dalam hal seperti ini ( pemberlakuan hukum pidana atau yurisdiksi atau Straftaanwendingsrecht/Strafanwendungsrecht atau strafmachtsrecht) ..berurusan dengan pemberlakuan hukum pada persoalan yang mengandung unsure asing, bagian hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum pidana internasional, sekalipun tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial sebenarnya bagian dari hukum nasional.Hanya objek kajiannya yang bersifat internasional”.17
15 M.Cheriff Bassiouni, “Introduction to International Criminal Law”;Transnational Publisher Inc.,New York; 2003, p. 4-7
16 Bassiouni, ibid
17 Jan Remmelink; “Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia; Gramedia tahun 2003, halaman 368
7
Selain hukum pidana yang membahas soal yurisdiksi negara lain (unsure asing) juga ada bagian hukum pidana yang membahas implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantive.18
Pendapat Remmelink menegaskan bahwa hukum pidana internasional esensinya adalah hukum (pidana)nasional, bukan hukum internasional, dan sering diterjemahkan sebagai hukum antar bangsa antara lain dengan pembentukan Mahkamah Tribunal di Nuremberg dan Tokyo.
Bassiouni masih belum secara tegas mengatakan hukum pidana internasional adalah bagian dari hukum internasional atau dari hukum nasional melainkan menegaskan sebagai “cross fertilization” dari banyak komponen yang merupakan hubungan fungsional (functional relationship). Namun jika diteliti pendapat Bassiouni mengenai disiplin hukum terkait yang merupakan hukum pidana internasional: hukum internasional; hukum pidana nasional; perbandingan hukum pidana dan hukum acara pidana; dan hukum humaniter internasional dan regional; maka esensinya mencerminkan bahwa disiplin hukum internasional lebih dominant daripada hukum nasional. Hal ini diperkuat oleh pendapat Bassiouni bahwa, aspek substantive dari hukum pidana internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan transnasional dan internasional.
Mengapa hukum pidana internasional disebut sebagai cabang baru ilmu hukum pidana? jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, bahwa telah terjadi perkembangan hukum pidana
18 Remmelink op\.cit. hal 369 8
yang signifikan pasca Mahkamah Militer di Nuremberg (1946) dan di Tokyo (1948).
Perkembangan yang signifikan dimaksud adalah bahwa, pertama, untuk pertama kalinya telah dilaksanakan penerapan ketentuan hukum pidana secara retroaktif, sejak asas legalitas diperkenalkan oleh Anselm Von Feuerbach pada awal abad abad 19 yang mennganut aliran klasik dan dipengaruhi oleh Montesquieu.19 Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua; sekalipin telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia. Dalam perkembangan hukum pidana tersebut telah muncul pandangan para ahli hukum internasional yang telah membuka celah hukum pemberlakuan hukum secara retroaktif sebagai wujud dari praktik hukum internasional atau pengembangan hukum kebiasaan internasional. Pandangan tersebut mengakui pertimbangan-pertimbangan pemberlakuan retroaktif yang telah dilaksanakan dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo pasca Perang Dunia ke II terhadap kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan terhadap keamanan serta genosida.sebagai sebagai prinsip hukum internasional baru yang berkembang dalam praktik, yang kemudian telah diakui sebagai Piagam Nuremberg oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perkembangan signifikan kedua, yaitu diperkenalkannya jenis kejahatan baru dalam kepustakaan hukum pidana yaitu yang disebut sebagai atau digolongkan sebagai “gross violation of human rights” atau “pelanggaran hak asasi manusia yang berat
19 J.Remmelink, 2003; op. cit., halaman 356.
9
(Pasal 5,6,7,dan 8 Statuta ICC).20 Jenis kejahatan baru tersebut berdampak terhadap pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan memunculkan asas-asas baru dalam penegakan hukum terhadap kejahatan dimaksud. Dampak terhadap masalah pertanggungjawaban pidana yaitu, tidak dikenal atau diakui lagi pertanggung-jawaban pidana yang bersifat kolektif, melainkan hanya diakui pertanggung-jawaban yang bersifat individual(Pasal 25 Statuta ICC)); dan dalam pertanggung-jawaban tersebut “kedudukan dan jabatan” dalam pemerintahan tidak dipertimbangkan lagi baik dalam jabatan dan kedudukan sebagai sipil maupun militer(Pasal 27 Statuta ICC). Dampak terhadap asas hukum pertanggungjawaban pidana telah diakui asas non-impunity kecuali untuk anak di bawah usia 18 tahun. Pengakuan terhadap asas non-impunity tersurat dalam aline ke lima Mukadmimah Statuta ICC, “To put end to impunity for the pertrators of these crimes(terrcantum dalam pasal 5 sd pasal 8,penulis) and thus to contribute to the prevention of such crimes”.
Dampak atas pengakuan terhadap asas “individual criminal responsibility(Pasal 25) dan asas “non-impunity” mendorong terbentuknya pertanggungjawaban Komandan atau Atasan lainnya (Pasal 28) dan Irelevansi Kapasitas Jabatan (Pasal 27).
Dampak terhadap pemberlakuan hukum pidana, terdapat kecenderungan untuk memberlakukan prinsip universal (Universality principle) terutama terhadap perkembangan jenis kejahatan baru, yaitu kejahatan yang bersifat transnasional dan internasional. Penerapan asas universal mulai dipertimbangkan secara serius oleh masyarakat internasional untuk diperluas tidak terbatas kepada kejahatan-kejahatan konvensional yang telah ada seperti pembajakan dan pemalsuan mata uang.21
20 Perkembangan kriminalisasi jenis kejahatan baru tersebut disebabkan dua factor, yaitu pertama, kekejaman yang terjadi selama perang dunia II yang dilakukan oleh tentara Nazi Jerman dan sekutunya dan pelanggaran terhadap hukum humaniter; dan kedua, merupakan realisasi dari Hak-hak Asasi Manusia sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB (Universal Decalaration on Human Rights, 1948)
21 Perkembangan penerapan asas universal untuk kejahatan klasik seperti pemalsuan mata uang dan pembajakan (piracy) sudah berlangsung sejak lama akan tetapi tidak mengalami perkembangan signifikan sampai dengan munculnya proses peradilan Nuremberg dan Tokyo;
10
Perkembangan tuntutan pemberlakuan asas universal terhadap kejahatan-kejahatan yang digolongkan ke dalam “Threaten to the Peace and Security of Mankind” (Chapter VII Piagam PBB)22, masih belum dapat disetujui sepenuhnya oleh terutama negara-negara berkembang sehubungan dengan masih lekat dan kuatnya pandangan konservatif banyak negara tentang prinsip kedaulatan negara. Disamping itu masih ada kekhawatiran dari negara-negara berkembang terhadap itikad baik negara maju dalam penerapan prinsip universal tersebut.
Perkembangan signifikan ketiga dari perkembangan hukum pidana internasional adalah, bahwa tuntutan solidaritas dan kerjasama internasional23 semakin diyakini merupakan solusi alternative dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan
yang kemudian dilanjutkan dengan proses peradilan di Rwanda(1996) dan Yugoslavia (1993). Maccedo, setelah memperhatikan perkembangan peradilan atas Diktator Chilli, Augusto Pinochet yang belum jelas proses penuntutannya dan ada semacam tarik-tarikan kepentingan politik antara Inggeris dan Chili dan Sepanjol; kasus Henry Kissinger selama dalam jabatan Penasehat Keamanan telah melakukan kekejaman dan pembunuhan sera pemboman di Kamboja juga terhambat masalah jurisdiksi sehingga ia mengatakan bahwa, diperlukannya pemberlakuan asas universal untuk dapat menyelesaikan sengketa (politik) yurisdiksi ini dalam bingkai pemerintahan yang mandiri. Selanjutnya Macedo menyatakan bahwa, “Universal Jurisdiction is playing a growing role in the emerging regime of international accountability for serious crimes. The challenge is to define that role and to clarify when and how universal jurisdiction can be exercised responsibly”.( Stephen Macedo,”Universal Jurisdiction:National Courts and the Prosecution of Serious Crimes under International Law;University of Pennsylvania Press;Philadelphia;2004).
22 Mahkamah Tetap Pidana Internasional (Permanent International Criminal Court) –ICC-, memiliki yurisdiksi terhadap 4(empat) jenis Pelanggaran Ham Yang Berat yaitu: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Untuk kejahatan agresi, Statuta ICC memberikan kelonggaran pemberlakuan secara efektif 7(tujuh) tahun sejak Statuta ICC berlaku efektif pada tanggal 17 Juli 2002. Pertimbangan penundaan pemberlakuan tsb dilatarbelakangi oleh kuatnya resistensi tertutama Amerika Serikat terhadap diberlakukannya serta merta yurisdiksi ICC terhadap agresi tsb. Resistensi tersebut secara politis beralasan karena sampai saat berlaku efektifnya Statuta ICC sampai saat ini masih belum jelas status ICC sebagai lembaga baru di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB).
23 Isu Kerjasama Internasional dan Regional merupakan isu terpenting memasuki perkembangan penegakan hukum lintas batas territorial sejak abad 20 . Matti Joutsen menguraikan perkembangan internasionalisasi penegakan hukum domestic memasuki penegakan hukum antar negara, dan menegaskan pula masih terjadi kelambanan-kelambanan dalam kerjasa sama investigasi dan penuntutuan perkara pidana dibandingkan dengan kerjasama peradilan dalam perkara perdata. Kelambanan-kelambanan ini diantisipasi oleh PBB dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters(dikutip dari 119th International Training Course Visiting Experts’ Papers).
11
transnasional dan kejahatan internasional disamping solusi penegakan hukum represif yang mengutamakan pendekatan legalistik semata-mata yang telah lama diterapkan di banyak negara.
Solusi alternative dalam penegakan hukum tersebut terhadap kejahatan yang bersifat transnasional dilandasi oleh keyakinan seluruh negara peserta konvensi bahwa, penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara optimal dan berhasil jika hanya dilakukan satu negara saja. Solusi alternative penegakan hukum tersebut merupakan strategi baru dengan penerapan prinsip, “No Save Haven” ditujukan untuk mempersempit ruang gerak aktivitas pelaku-pelaku kejahatan transnasional.24
Tuntutan solidaritas dan kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional dan internasional tersebut merupakan pendekatan baru dalam era globalisasi karena dengan tuntutan baru tersebut telah mencerminkan adanya “pemaksaan” secara kolektif terhadap setiap negara untuk melaksanakan proses kriminalisasi secara komprehensif terhadap perkembangan jenis kejahatan baru dalam era globalisasi ini.
Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Abad 21, Laporan High-level Panel on “Threats,Challenges and Change” di bawah petunjuk Sekjen PBB tahun 2004 antara lain menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6(enam) kelompok Ancaman terhadap penduduk Dunia yaitu: (a) ancaman
24 Pengakuan atas prinsip tersebut telah dicantumkan dalam berbagai Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Terorisme sejak tahun 1937 sampai dengan tahun 1999 ; Konvensi Internasional Menentang Korupsi tahun 2003(Konvensi Merida); Konvensi Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000(Konvensi Palermo) beserta Protokol Tambahannya; dan Statuta ICC tahun 1998 /2002 (Statuta Roma) 12
social dan ekonomi, termasuk kemiskinan,penyakit berbahaya dan kemerosotan lingkungan; konflik antar-negara; konflik internal, termasuk, perang saudara (civil war), genosida dan malapetaka dalam bentuk yang luas; senjata nuklir, radiology,kimia dan biologis; terorisme; dan kejahatan transnasional terorganisasi.25
Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman tersebut di atas, maka prinsip-prinsip “non-intervention”, dan “state-souvereignty”,tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu negara manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok masalah tersebut di negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat Tinggi Sekjen PBB menegaskan antara lain:” There is a growing recognition that the issue is not the “right to intervene” of any State, but the “responsibility to protect” of every State when it comes to people suffering from avodable catastrophe-mass murder and rape, ethnic cleansing by forcible expulsion , deliberate starvation and exposure to disease”.26
Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap pengakuan dan penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman sebagaimana diuraikan di atas dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara cultural, etnis, geografis maupun factor sistem politik
25 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23
26 UNITED NATIONS, loc cit.,p. 65
13
yang berkembang di negara ybs. Dalam kondisi dan pengaruh perubahan pandangan dunia mutakhir seperti itu maka negara dalam masa kini dan lima atau sepuluh tahun kedepan akan mengalami suatu proses “de-limitasi, de-kulturasi, de-etnocentris, dan de-stattisasi, untuk mewujudkan yang disebut “WORLD NATION STATE”.
Pengakuan terhadap perubahan pandangan “The Responsibility to Protect” atau yang saya sebut sebagai prinsip “Limited Non-Intervention” , sebagai lawan prinsip “non-intervention”, telah menumbuhkan ketentuan baru dalam hukum internasional tentang “Collective-Security-Responsibility to Protect”(CSRPt). Pengakuan atas ketentuan hukum baru ini dikemudian hari secara evolusioner akan melemahkan arti dan sifat kedaulatan (hukum) bagi suatu negara secara signifikan, sesuatu yang selama ini menguasai secara dominan dan dianut banyak negara di dunia hampir seratus tahun lamanya. Dalam kondisi perkembangan pandangan internasional seperti ini maka penerapan prinsip universal (universality principle) semakin dirasakan penting, relevan dan mendesak dalam mewujudkan prinsip “Collective-Security-Responsibility to Protect” dalam kerangka menciptakan satu dunia baru yang bebas dari Enam Kelompok Ancaman dan Tantangan sebagaimana telah diuraikan di atas.
Perkembangan signifikan keempat, yaitu dalam proses pembentukan perjanjian internasional menghadapi kejahatan transnasional, pengaruh kepentingan politik negara pihak dalam
14
perjanjian ikut mewarnai atau mempengaruhi karakter dari perjanjian dimaksud.27
Perkembangan signifikan sebagaimana diuraikan di atas termasuk pembentukan ICC pada tahun 1998 menunjukkan bahwa hukum pidana internasional telah memenuhi criteria sebagai salah satu cabang baru ilmu hukum pidana sejak abad 20 sampai saat ini. Perkembangan signifikan dimaksud dalam praktik menuntut sikap terbuka dari para ahli hukum yang konservatif (pendekatan legalistik normative) terhadap masuknya unsure-unsur asing (asas retroaktif khusus; asas –asas hukum yang berkembang dalam yurisdiksi kriminal dll) dan dipertimbangkannya pendekatan ilmu politik dan hubungan luar negeri ke dalam skema besar (grand strategy) pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional/internasional dalam lingkup hukum baru yaitu hukum pidana internasional.
Pengakuan atas cabang baru ilmu hukum pidana tersebut berdampak terhadap perlu adanya perobahan kurikulum pendidikan hukum pidana yang selama ini telah berlaku yaitu dimasukkan mata kuliah hukum pidana internasional sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri dan harus memasukkan pendidikan ilmu politik khususnya politik luar negeri sebagai Ilmu bantu (Ancillary Science) hukum pidana internasional.28
27 Sebagai contoh sekalipun lahirnya Resolusi DK PBB yang menyangkut pemberantasan terhadap kegiatan terorisme telah memperoleh dukungan negara pemegang hak veto (DK PBB) namun demikian dalam impelementasinya baik bilateral maupun regional sangat kental pengaruh kepentingan politik negara-negara ybs. Draft Asean Convention on Combating Terrorism yang diajukan pihak Indonesia dimana penulis ketika itu menjadi “focal Point” Asean Legal Officer Meeting(ASLOM), tetap menghadapi hambatan-hambatan yang cukup serius dari negara anggota Asean lainnya.
28 Fakultas Hukum UNPAD di mana penulis sebagai Gurubesar Tetap di lembaga ini, telah mulai mengajarkan hukum pidana internasional baik pada tingkat strata 1 maupun strata 2 sejak tahun 1993, dan telah menyusun kurikulum hukum pidana internasional (lihat Pengantar Hukum Pidana Internasional bagian kesatu,edisi kedua, 2003;lampiran di halaman 76). Kini sudah ada tiga Universitas yang memasukkan mata kuliah Hukum pidana Internasional ke dalam kurikulumnya yaitu, Unpad, Undip (Semarang), Universitas
15
Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia.
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara kembar, memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan berkesinambungan. Ketiga sifat saudara kembar tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya jenis kejahatan baru dalam dimensi internasional (genosida,kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi) yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu proses ilmu baru yang disebut hukum pidana internasional.
Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi, 2000) dalam dimensi internasional telah membentuk kriminalisasi tentang perdagangan orang khususnya wanita dan anak-anak; penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu perkembangan kejahatan transnasional dan internasional telah membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas hukum, “au dedere au punere”(Grotius), “au dedere au judicare(Bassiouni) dan asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup pembahasan hukum pidana internasional.
Perkembangan dimensi baru kejahatan yang bersifat transnasional dan internasional tersebut telah terjadi dalam bingkai periodisasi peningkatan promosi dan perlindungan hak asasi
Surabaya(Surabaya), dan Universitas Tanjung Pura di Pontianak di mana penulis duduk sebagai Pembina mk tsb. 16
manusia sejak pasca perang dingin (berakhirnya Perang Dunia ke II dan runtuhnya Negara Uni Soviet).
Apakah yang menjadi tujuan utama hak asasi manusia itu? Michael Ignatieff menegaskan bahwa, tujuan hak asasi manusia adalah,
“to protect human agency and therefore to protect human agents against abuse and oppression. Human protects the core of negative freedom,freedom from abuse,oppression, and cruelty”.29
Dalam konteks tujuan hak asasi manusia tersebut, Ignatieff, mengemukakan bahwa, selain “negative freedom”, masih ada lagi hak yang lain yang disebutnya sebagai “the right to subsistence”, seperti juga masalah kemiskinan merupakan inti dari hak asasi manusia. Ignatieff hendak menegaskan bahwa tujuan hak asasi manusia bersifat “serba guna”(multipurpose) sehingga mencakup juga bukan saja “negative rights” (sifat perlakuan diskriminatif dan penyalahgunaan) semata-mata akan tetapi juga mencakup kemiskinan yang merupakan akibat alam maupun tindakan manusia.
Keterkaitan hukum hak asasi manusia dalam pandangan Ignatieff dan perkembangan hukum pidana internasional jelas memberikan cakrawala baru bahwa, tindak pidana (ordinary crimes) atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights) bukan saja harus bersifat tindakan manusia secara aktif (abuse and oppression) melainkan dapat berupa tindakan manusia yang bersifat pasif seperti halnya contoh, kemiskinan, sebagaimana disebutkan oleh Ignatieff.
29 Michael Ignatieff, “Human Rights as Politics and Idolatry”;Princeton University Press; 2001;page ix 17
Hubungan erat disiplin ilmu hukum pidana internasional dan hukum HAM akan selalu terjalin dan berkembang sejajar dan akan selalu mendominasi percaturan dan kompleksitas hubungan internasional untuk masa lima dan sepuluh tahun kedepan. Perkembangan pembentukan ius consitutendum dalam kedua bidang hukum tersebut merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dielakkan.Ius constitutum yang tengah berjalan saat ini tidak dapat lagi secara optimal digunakan untuk menganalisis dan menemukan solusi hukum yang tepat untuk mencegah dan mengatasi peristiwa Pelanggaran HAM yang berat termasuk sengketa yurisdiksi dua atau lebih negara terhadap satu objek hukum yang sama yakni kejahatan lintas batas territorial.
Masalah pokok yang selalu menghadang adalah seberapa jauh penegakan hukum Hak Asasi Manusia berjalan efektif? Sekali lagi Ignatieff menegaskan bahwa, penegakan hak asasi manusia dalam fora internasional tidak memberikan jaminan perlindungan efektif atas hak asasi setiap individu atau kesejahteraan individu. Mengapa demikian?, karena menurut Ignatieff, tujuan hak asasi manusia itu intinya adalah berkaitan dengan moralitas, sehingga baik pemerintah maupun organisasi non-pemerintah jangan mencoba-coba memperluas lingkup dari hak asasi manusia dengan mengatakan sebagai berikut::
“Proliferation of human rights to include rights that are not clearly necessary to protect the basic agency or needs or dignity of persons cheapens the purpose of human rights and correspondingly weakens the resolve of potential enforcers”30.
Kebenaran pendapat Ignatieff masih harus diuji coba dalam praktik penegakan hak asasi manusia. Satu kebenaran yang dapat
30 Ignatieff, page x
18
ditarik dari pendapat Ignatieff di atas adalah, bahwa masalah hak asasi manusia adalah masalah moralitas, dan masalah moralitas bersifat kontekstual sesuai dengan budaya, geographis, dan etnis. Atas dasar pendapat ini maka sangat relevan pernyataan Ignatieff tentang masalah ini dan peringatannya untuk tidak mengembangkan hak asasi manusia itu sedemikian rupa sehingga pada gilirannya kontra produktif terhadap tujuan hak asasi manusia itu sendiri. Dalam kaitan ini saya sependapat tentang pembedaan hak asasi manusia yang bersifat absolut (non-derogable rights) dan hak asasi manusia yang bersifat relative (derogable rights).31
Penegakan Hak Asasi Manusia dalam fora internasional tidak sefektif diperkirakan banyak pihak sekalipun sudah ada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan serta Komisi Hak Asasi Manusia di dalamnya. Tidak efektifnya perangkat organisasi di bawah naungan PBB menunjukkan kelemahan mendasar dalam mewujdukan kehendak masyarakat internasional untuk memperjuangkan perlindungan HAM. Bahkan sebaliknya, telah terjadi, di mana negara-negara miskin dan berkembang menjadi ajang objek eksperimen untuk suatu proses peradilan HAM yang dituntut oleh negara maju. Disini kita menyaksikan terjadinya kontroversi dan kontradiksi baik dalam tataran konseptual dan praksis tentang apakah yang dimaksud dengan pelanggaran HAM dan penegakan HAM itu. Dalam tataran konseptual telah terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian
31 Pembedaan ini secara universal tampaknya kurang jelas diartikulasikan ke dalam pedoman atau sosialisasi tentang HAM sehingga menimbulkan keadaan tanpa prioritas dan mengeneralisasikan seluruh tindakan pelanggaran ham digolongkan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang absolut. Contoh, merampas hak atas tanah rakyat oleh penguasa disamakan dengan genosida; menyamakan penyiksaan dan diskriminasi dengan penjatuhan hukuman mati. 19
HAM dalam perspektip dan pandangan universalistik dan partikularistik.32 Dalam tataran praksis kita bersama-sama menyaksikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang telah ditandatangani oleh Presiden RI dan Presiden Timor Leste pada tanggal 9 Maret 200533 dan Perjanjian bilateral antara pemerintah Amerika dan 35 negara lain untuk menunda hak suatu negara menyerahkan (surrender) seseorang tersangka pelanggar Ham berat kepada ICC sesuai dengan bunyi Pasal 98 Statuta ICC.34 Masalah ektsradisi Hendra Rahardja, Hambali, dan proses peradilan Corby juga tidak lepas dari kaitan kepentingan politik di samping masalah hukum yang terkait di dalamnya.
Hukum pidana internasional dalam konteks hukum tentang Hak Asasi Manusia memiliki peranan strategis dan signifikan untuk melakukan analisis hukum terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia tertentu dan kejahatan transnasional dan internasional tertentu yang bersifat universal atau melibatkan kepentingan nasional maupun kepentingan internasional.35 Hukum
32 Pandangan Universalistik pada intinya menghendaki baik secara konseptual maupun secara operasional, hak asasi manusia haruslah sama untuk seluruh bangsa di dunia; sedangkan pandangan partikularistik, lebih mengutamakan kondisi objektip suatu bangsa dalam pengakuan dan implementasi HAM dengan memperhatikan sisi geographis dan kultur suatu bangsa.
33 Di dalam TOR tentang KKP antara kedua pemerintah telah disetujui antara lain: alinea 10, menegaskan sebagai berikut: “ Different countries with their respective experience have chosen different means in confronting their past. Indonesia and Timor Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process. True Justice can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the pertrators, but it might not necessarily lead to the truth and promote reconcialition”.
34 Pasal 98 ayat 2 Statuta ICC menegaskan : “ The Court (ICC) may not proceed with a request for surrender which would require the requested State to act inconsistently with its obligation under international agreements pursuant to which the consent of a Sending State is require to surrender a person of that State to the Court, unless the Court can first obtain the cooperation of the Sending State for the giving of consent for the surrender”.
35 Istilah kepentingan nasional (national interest) dan kepentingan internasional (international interest) lebih cocok dibandingkan dengan aspek nasional dan aspek internasional karena dalam praktik hubungan internasional, kepentinngan terbukti lebih menonjol daripada sekedar aspek. Dengan menonjolkan istilah kepentingan (interest) maka secara teoritik, komunitas
20
pidana internasional dalam konteks praksis, tidak akan sepenuhnya menggunakan pisau analisa hukum melainkan juga menggabungkannya dengan pisau analisa diplomatic(politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah yang menyentuh kepentingan dua negara atau lebih baik kepentingan hukum, politik, ekonomi, social dan budaya.
akademik di bawa memasuki dan berorientasi kawasan pragmatisme di dalam menimba ilmu hukum pidana internasional; sedangkan istilah aspek lebih menggambarkan sifat statis yang belum jelas “kepentingannya”. Dalam pertarungan analisis yang melakukan kajian tentang yurisdiksi kriminal negara mana yang lebih kuat, sudah tentu pendekatan dari sudut kepentingan (politik), perlu dipertimbangkan secara porposional bersamaan dengan pendekatan hukum (legal aspect). 21

HUKUM Pid Internasional

FUNGSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DIHUBUNGKAN
DENGAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL KHUSUSNYA TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: Dr. LILIK MULYADI, S.H., M.H.1


I. Pendahuluan
Pada dasarnya, menurut Romli Atmasasmita istilah Hukum Pidana
Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan
dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan
seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger
pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P.
Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen
pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari
Amaerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif
Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).2
Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri
menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum
pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.3 Akan tetapi,
sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu.
Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas
dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli Atmasasmita lebih
lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional
tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
(1) Hukum Pidana Ingternasional dalam arti lingkup teritorial
pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the
territorial scope of municipal criminal law) ;
(2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan
internbasional yang terdapat di dalam hukum pidana
internasional (international criminal law in the meaning of
internationally priscribel municipal criminal law);
(3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan
internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional
(international criminal law in the meaning of internationally authorised
municipal criminal law);
(4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana
nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam
1Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Penulis Buku Ilmu
Hukum dan Kini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
2Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika
Aditama, Bandung, 2003, hlm. 19
3I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, PenerbitCV Yrama Widya,
Bandung, 2006, hlm. 31
2
kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international
criminal law in the meaning of municipal criminal law common to
civilised nations);
(5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional
dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional
(international criminal law in the meaning of international co-operation
in the administration of municipal criminal justice);
(6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international
criminal law in the material sense of the word).4
Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional
teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional,
akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan
internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme
administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional
dalam arti materril.
Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum
Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada
hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan
kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara
melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus
delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai
negara. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang
sebenarnya adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau
lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam
batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait
kepentingan negara-negara lain, sehingga nampak adanya dua atau lebih
negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam
praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya
kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya,
kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan
negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional.
Misalnya, khusus tindak pidana korupsi, dimana pelaku (offender) maupun
aset hasil korupsi tersebut kemudian disimpan di negara lain sehingga
sehingga tidak saja meliputi batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi
juga memasuki wilayah negara lain.
II. Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan
Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau
internationale strafprocessrecht merupakan cabang ilmu hukum yang relatif
baru. Romli Atmasasmita menyebutkan pengembangan Hukum Pidana
Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai oleh pekerjaan
Gerhard O.W. Mueller dan Edmund M. Wise yang telah menyusun suatu
karya tulis International Criminal Law dalam rangka proyek penulisan di
4Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana ...., Op. Cit, hlm. 21
3
bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York.
Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang
telah menulis sebuah karya tulis A Treatise on International Criminal Law
(1973).5
Sebagaimana apa yang telah diterangkan di atas maka eksistensi
Hukum Pidana Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila
dihubungkan dengan kejahatan transnasional. Apabila dijabarkan lebih lanjut
maka pada pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana
Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut
hukum pidana internasional sama derajadnya. Dari aspek ini, maka
menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar
atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan
yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum
masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang
sama.
2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain.
Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi hukum
terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka
fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan
penjabaran dari asas non-intervensi. Menurut asas ini, maka suatu
negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara
lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu
negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha
memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang
terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang
bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi.
3. Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai
“jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik
untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada
dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga
peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus
serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negaranegara
yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana
Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan keluar”
bagi negara-negara yang berkonflik.

4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan
agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif
menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka
asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban
kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati
dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun
juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh
5 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana....., Ibid, hlm. 19
4
negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga,
tindakannya ini tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan
hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan
perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana seperti
undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan
lain sebagainya tidak boleh ada ketentuannya yang bertentang dengan
hak asasi manusia.
Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan
fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka
keempat fungsi tersebut berhubungan erat dan dapat diaplikasikan
terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap Tindak Pidana
Korupsi yang merupakan bahasan topik dalam paper ini.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai
spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum,
seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan
menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan
terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC), 2003)6 mendiskripsikan masalah korupsi sudah
merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat
nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai
demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan
berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi
merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan
mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat
internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai
“Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi
“Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang
akibat korupsi, berupa:
1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public
official):
a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis
program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of
all types of govermental programmes”)
b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”).
c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat
(“victimize individuals and groups”).
6dikutif dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan
Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan
Korporasi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1 dan Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan
Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia:
Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun
2003, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1.
5
2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk
kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang
haram.7
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik,
terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi
dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara
dan lain sebagainya.8 Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana
korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes)
sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa:
“Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik
dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya
secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary
crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar
biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat
atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa
Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa
perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak
sosial rakyat Indonesia.9
Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
menegaskan pula:
“Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum
untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.
Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa
melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai
kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
7Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69
8Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan …., Op.Cit, hlm. 1
9Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di
Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 25
6
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional serta berkesinambungan.”
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga
diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary
enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary
measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah
sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan
legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang
terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi
sosial, budaya dan kultur orang Indonesia. Oleh karena korupsi kejahatan
yang bersifat transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan
jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu negara
dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini telah dilaksanakan misalnya
seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani
perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu
kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor yang
bersembunyi di negara tersebut.
Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut
membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua
yaitu tidak adanya intervensi hukum antara satu negara dengan negara
lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh karena antara negara satu dan negara
lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling
menguntungkan kedua belah pihak. Negara pihak atau negara korban
korupsi dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hukum
ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun asetnya
disembunyikan. Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat
lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada negara
korban.
Kembalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila negara
korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi maka
para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untuk
memulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila negara
korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor
maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana
Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur
hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah Internasional untuk
mengadili negara yang bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik
kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar memutus
secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh karena yang memutus adalah
Mahkamah Internsional yang bersifat independen maka diharapkan konflik
yang terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang
relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan.
Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi
Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum nasional di
masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional
7
sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada
intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi),
dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi
sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik
untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua
itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga
berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini
merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak
Pidana Korupsi.
Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada
dasarnya menurut Paul Sieghart10 secara global HAM terdiri dari tiga
generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi,
Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu
sesungguhnya merupakan hak individu. Oleh karena tindak pidana korupsi
merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes sehingga
diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary
enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary
measures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan
pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum
tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian
diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih
baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.
III. Penutup
Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional yaitu sebagai jembatan agar
hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum
pidana internasional sama derajadnya, sebagai pencegah tidak ada intervensi
hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), sebagai
“jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk
menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar dan landasan agar
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik
berkorelasi dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap kejahatan
korupsi. Oleh karena itu, diharapkan nantinya keempat fungsi Hukum
Pidana Internasional tersebut relatif dapat lebih berperan maksimal bagi
negara-negara di dunia untuk dapat menindaklanjuti kejahatan korupsi.***
10Paul Sieghart, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The
International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press, 1986, 107 dstnya
8
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, PenerbitCV Yrama Widya,
Bandung, 2006
Paul Sieghart, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The
International Legal Code Of Human Rights, Oxford University
Press, 1986
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika
Aditama, Bandung, 2003
--------------------------, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di
Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002
-------------------------, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca
Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan
Korporasi, Paper, Jakarta, 2006
-------------------------, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi
Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius
Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi
Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006

Sabtu, 30 Januari 2010

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA PBB

Tujuan PBB seperti yang diamatkan dalam Pasal 1 Piagam PBB, adalah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Adalah kewajiban PBB untuk mendorong agar sengketa- sengketa diselesaikan secara damai. Dua tujuan tersebut adalah sebuah reaksi yang terjadi akibat pecahnya Perang Dunia II. Adalah upaya PBB agar perang dunia baru tidak kembali terjadi. Adalah kerja keras PBB agar sengketa yang terjadi antar Negara dapat diselesaikan sesegera mungkin secara damai.1



Langkah – langkah lebih lanjut tentang yang harus dilakukan oleh negara –negara anggota PBB guna penyelesain sengketa secara damai diuraikan dalam Bab IV (Pacific Settlement of Disputes)

Terkait hal –hal tersebut PBB mempunyai berbagai cara yang terlembaga dan termuat didalam Piagam PBB. Di samping itu PBB mempunyai cara informal yang lahir dan berkembang dalam pelaksanaan tugas PBB sehari –hari. Cara –cara ini kemudian digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara negara anggotanya.

Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut.2
1. Preventive Diplomacy

Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengkta di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau oleh organisasi –organisasi regional berkerjasama dengan PBB. Misalnya upaya yang dilakukan oleh Sekjen PBB sebelumnya Kofi Annan dalam mencegah konflik Amerika Serikat – Irak menjadi sengketa terbuka mengenai keenganan Irak mengizinkan UNSCOM memeriksa dugaan adanya senjata pemusnah massal di wilayah Irak, walaupun upaya tersebut akhirnya menemui jalan buntu.
2. Peace Making

Peace Making adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara –cara damai seperti yang terdapat dalam Bab VI Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada diantara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk mencoba membawa para pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara –cara damai.

Dalam perananya disini, Dewan Keamanan hanya memberikan rekomendasi atau usulan mengenai cara atau metode penyelesaian yang tepat setelah mempertimbangkan sifat sengketanya.3
3. Peace Keeping

Peace Keeping adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB dan juga personel sipil. Meskipun sifatnya militer, namun mereka bukan angkatan perang.

Cara ini adalah suatu teknik yang ditempuh untuk mencegah konflik maupun untuk menciptakan perdamaian. Peace Keeping merupakan “penemuan” PBB sejak pertama kali dibentuk, Peace Keeping telah menciptakan stabilitas yang berarti diwilayah konflik. Sejak 1945 hingga 1992, PBB telah membentuk 26 kali operasi Peace Keeping. Sampai Januari 1992 tersebut, PBB telah menggelar 528.000 personel militer, polisi dan sipil. Mereka telah mengabdikan hidupnya dibawah bendera PBB. Sekitar 800 dari jumlah tersebut yang berasal dari 43 negara telah gugur dalam melaksanakan tugasnya.
4. Peace Building

Peace Building adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur –struktur yang dan guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Peace Building lahir setelah berlangsungnya konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerjasama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan diantara mereka. Hal demikian tidak hanya memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan yang merupakan syarat fundamental bagi perdamaian.
5. Peace Enforcement

Disamping keempat hal tersebut, sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga, memperkenalkan istilah lain yaitu Peace Enfocement (Penegakan Perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang Dewan Keamanan berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya tindakan agresi. Dalam menghadapi situasi ini, berdasarkan Pasal 41 (Bab VII), Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik atau militer. Bab VII yang membawahi Pasal 41 Piagam ini dikenal juga sebagai “gigi”-nya PBB (the “teeth” of the United Nations)4

Contoh dar penerapan sanksi ini, yaitu Putusan Dewan Keamanan tanggal 4 November 1977. putusan tersebut mengenakan embargo senjata terhadap Afrika Selatan berdasarkan Bab VII Piagam sehubungan dengan kebijakan Negara tersebut menduduki Namibia (UNSC Res.418[1971]).

Termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam yang menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa “shall, first of all, seek a resolution by negotiation…,” tersirat bahwa penyelesaian sengketa kepada organ atau badan PBB hanyalah “cadangan”, bukan cara utama dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Namun demikian, ketentuan tersebut tidak ditafsirkan manakala sengketa lahir. Para pihak tidak boleh menyerahkan secara langsung sengketanya kepada PBB sebelum semua cara penyelesaian sengketa yang ada sudah dijalankan. Pada kenyataanya bahwa organ utama PBB dapat secara langsung menangani suatu sengketa apabila PBB memandang bahwa suatu sengketa sudah mengancam perdamaian dan keamanan internasional.

Organ – organ utama PBB bedasarkan Bab III (Pasal 7 ayat (1)) Piagam PBB terdiri dari Majelis Umum , Dewan Keamanan, ECOSOC, Dewan Peralihan, Mahkamah Internasional dan Sekertariat. Organ-organ ini berperan penting dalam melaksanakan tugas dan fungsi PBB. Terutama dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, sesuai dengan kaedah keadilan dan prinsip hukum internasional.5



1 J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Cambrige: CambrigeU.P., 2nd ed., 1995,hlm.179

2 Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace, New York: United Nations,1992,hlm.12

3 Eduardo Jimenez De Arechaga, United Nations Security Council, Encylopedia of Public International Law, Instalment 5 1983, hlm.346

4 Thomas M. Franck and Faiza Patel, UN Police Action in Lieu of War: The Order Chapters,85:1 AJIL,65 (1991)

5 Huala Adolf, SH.,LL.M., Ph.D, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika. Jakarta

UU RI Tentang Perjanjian Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana
tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial, Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat
internasional, melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan
dalam perjanjian internasional;
b. bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat ringkas, sehingga
perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan;
c. bahwa Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
196D tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" yang selama ini
digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian
internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi;
d. bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah
Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan
subjek hukum internasional lain adalan suatu perbuatan hukum yang sangat penting
karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan
dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar
yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan
yang jelas pula;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Huruf a, b, c, dan d
perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 dan
Perubahannya (1999).
2. Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (LN Tahun 1999
Nomor 156, TLN Nomor 3882);
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA ANTARA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang
diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak
dan kewajiban di bidang hukum publik.
2. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi( accession), penerimaan
(acceptance) dan penyetujuan ( ap-prova/).
3. Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri
yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian,
menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau
rnenyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian
internasional.
4. Surat Kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau
Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingan, dan/atau menerima
hasil akhir suatu pertemuan internasional.
5. Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak
menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam
rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau
mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
6. Pernyataan (Declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang
pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional,
yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna
ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban
negara dalam perjanjian internasional.
7. Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah yang diakui sebagai
subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian
internasional.
8. Suksesi Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari satu negara kepada negara
lain, sebagai akibat pergantian negara, untuk melanjutkan tanggungjawab
pelaksanaan hubungan luar negeri dan pelaksanaan kewajiban sebagai pihak suatu
perjanjian internasional, sesuai dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggungjawab di bidang hubungan luar negeri dan
politik luar negeri.
Pasal 2
Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut
kepentingan publik.
Pasal 3
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui
cara-cara sebagai berikut :
a. Penandatangan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
BAB II
PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 4
(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara
atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan
kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut
dengan itikad baik.
(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia
berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional
maupun hukum internasional yang berlaku.
Pasal 5
(1) Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen,
di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai renca- na untuk membuat perjanjian
internasional, ter1ebih dahulu melak- ukan konsultasi dan koordinasi mengenai
rencana tersebut dengan Menteri.
(2) Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian
internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik
Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.
(3) Pedoman delegasi Republik Indonesia yang perlu mendapat persetujuan Menteri,
memuat hal-hal sebagai berikut :
a. latar belakang permasalahan;
b. analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang
dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai
kesepakatan.
(4) Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan
materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.
Pasal 6
(1) Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
(2) Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah
perjanjian internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan
pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan para
pihak.
Pasal 7
(1) Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima
atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian
internasional, memerlukan Surat Kuasa.
(2) Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
Angka 3 adalah :
a. Presiden, dan
b. Menteri.
(3) Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil
akhir suatu pertemuan internasional, memerlukan Surat Kepercayaan.
(4) Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan dengan Surat
Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut ketentuan dalam suatu perjanjian
internasional atau pertemuan internasional.
(5) Penandatangan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja sama teknis
sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam
lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non departemen, dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa.
Pasal 8
(1) Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan/atau pernyataan,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut
(2) Pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian
internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut.
(3) Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat
ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang
dtetapkan daam perjanjian internasional.
BAB III
PENGESAHAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 9
(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang
dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Pasal 10
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan
dengan :
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pasal 11
(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana dimaksud Pasa110, dilakukan dengan keputusan presiden.
(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden
yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk dievaluasi.
Pasal 12
(1) Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri
atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non
departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undangundang,
atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.
(2) Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non departemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan
dan/atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya
dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.
(3) Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri
untuk disampaikan kepada Presiden.
Pasal 13
Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 14
Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Pemerintah Republik
Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak
atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpanan pada organisasi internasional.
BAB IV
PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 15
(1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau
keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian
internasional yang ber1aku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh
para pihak pada perjanjian tersebut.
(2) Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah
memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
Pasal 16
(1) Pemerintah Republik Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian
internasional berdasarkan kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut.
(2) Perubahan perjanjian internasional mengikat para pihak melalui tata cara
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
(3) Perubahan atas suatu perjanjian internasional yang telah disyahkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.
(4) Dalam hal perubahan perjanjian internasional yang hanya bersifat teknis
administratif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur
sederhana.
BAB V
PENYIMPANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 17
(1) Menteri bertanggungjawab menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar
naskah resmi dan menerbitkannya dalam himpunan penjanjian internasional.
(2) Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional disampaikan kepada lembaga
negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen
pemrakarsa.
(3) Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian
internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada
sekretariat organisasi internasional yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia
menjadi anggota.
(4) Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan piagam pengesahan perjanjian
internasional kepada instansi-instansi terkait.
(5) Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai penyimpan piagam
pengesahan perjanjian internasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpan
piagam pengesahan perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara pihak.
BAB VI
PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 18
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. objek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Pasal 19
Perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya berdasarkan kesepakatan para
pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian
perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian
tersebut.
Pasal 20
Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama
negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, pembuatan atau pengesahan perjanjian
internasioal yang masih dalam proses, diselesaikan sesuai dengan ketentuan undangundang
ini.
BAB VIII
KENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini melalui Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Oktober 2000
SEKRETARIS NEGARA RI
ttd.
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 185
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL
I. UMUM
Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional,
Pemerintah Republik Indonesia melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian
internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subyek hukum
internasional lain.
Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara.
Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama
internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional melibatkan berbagai lembaga negara
dan lembaga pemerintah berikut perangkatnya. Agar tercapai hasil yang maksimal,
diperlukan adanya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bersangkutan. Untuk
tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara jelas dan menjamin kepastian hukum atas setiap aspek pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional. Pengaturan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional yang ada sebelum disusunnya undang-undang ini tidak dituangkan dalam
suatu peraturan perundang-undangan yang jelas sehingga dalam praktiknya menimbulkan
banyak kesimpang-siuran. Pengaturan sebelumnya hanya menitikberatkan pada aspek
pengesahan perjanjian internasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang mencakup aspek pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional demi kepastian hukum. Undang-undang tentang Perjanjian Internasional
merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 bersifat
ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu
perangkat perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga
eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta
aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara
kedua lembaga tersebut. Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang
ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan
dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain. Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup
beragam, antara lain: treaty; convention, agreement, memorandum of understanding,
protocol, charter, dedaration, final act; arrangement, exchange of notes, agreed minutes,
summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya
bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian
tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara
hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang
di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi
perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak
terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut. Sebagai bagian terpenting dalam
proses pembuatan perjanjian, pengesahan perjanjian internasional perlu mendapat
perhatian mendalam mengingat pada tahap tersebut suatu negara secara resmi
mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi
dalam empat kategori, yaitu :
(a) ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional turut menandatangani naskah perjanjian.
(b) aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.
(c) penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima
atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas
perubahan perjanjian internasional tersebut Selain itu, juga terdapat perjanjianperjanjian
internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku
setelah penandatanganan. Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional
di Indonesia selama ini dijabarkan dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960
tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah
menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional, yaitu
pengesahan melalui undang-undang atau keputusan presiden, bergantung kepada
materi yang diaturnya. Namun demikian, dalam praktik selama ini telah terjadi
berbagai penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut sehingga perlu
diganti dengan Undang- undang tentang Perjanjian Internasional.
Pokok materi yang diatur dalam undang-undang ini disusun dengan sistematika sebagai
berikut :
a. Ketentuan Umum;
b. Pembuatan Perjanjian Internasional;
c. Pengesahan Perjanjian Internasional;
d. Pemberlakuan Perjanjian Internasional;
e. Penyimpangan Perjanjian Internasional;
f. Pengakhiran Perjanjian Internasional;
g. Ketentuan Peralihan;
h. Ketentuan Penutup.
II. Pasal Demi Pasal
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Menteri memberikan pendapat dan pertimbangan
politis dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional berdasarkan
kepentingan nasional. Sebagai pelaksana hubungan luar negeri dan politik luar negeri,
Menteri juga terlibat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional, khususnya dalam mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil
untuk melaksanakan prosesur pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal
yang menyangkut kepentingan publik adalah materi yang diatur dalam Pasal 10 undangundang
ini.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan "cara-cara lain" yang disepakati oleh para pihak (misalnya
simplfied procedure) adalah keterikatan secara otomatis pada perjanjian internasional
apabila dalam masa tertentu tidak menyampaikan notifikasi tertulis untuk menolak
keterikatannya pada suatu perjanjian internasional.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan subjek hukum internasional lain dalam pasal ini adalah suatu
entitas hukum yang diakui oleh hukum internasional dan mempunyai kapasitas membuat
perjanjian internasional dan mempunyai kapasitas membuat perjanjian internasional
dengan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Lembaga Negara adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan,
Mahkamah Agung, dan Dewan Pertimbangan Agung yang fungsi dan wewenangnya
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Lembaga Pemerintah adalah lembaga eksekutif termasuk presiden, departemen/instansi
dan badan-badan pemerintah lain, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
Badan Tenaga Atom Nasional, yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Badanbadan
independen lain yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu tidak termasuk dalam pengertian lembaga pemerintah.
Mekanisme konsultasi dengan Menteri sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai
pelaksana hubungan dan politik luar negeri, dengan tujuan melindungi kepentingan
nasional dan mengarahkan agar pembuatan perjanjian internasional tidak bertentangan
dengan kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia, dan prosesur pelaksanaannya
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang Perjanjian
Internasional. Mekanisme konsultasi tersebut dapat dilakukan melalui rapat antar
departemen atau komunikasi surat-menyurat antara lembaga-lembaga dengan
Departemen Luar Negeri untuk meminta pandangan politis/yuridis mengenai rencana
pembuatan perjanjian internasional tersebut.
Ayat (2)
Pedoman delegasi Republik Indonesia dibuat agar tercipta keseragaman posisi delegasi
Republik Indonesia dan koordinasi antar departemen/lembaga pemerintah di dalam
membuat perjanjian internasional.
Pedoman tersebut harus disetujui oleh pejabat yang berwenang, yaitu Menteri yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan luar negeri.
Pedoman tersebut pada umumnya dibuat dalam rangka sidang multilateral. Namun
demikian, pedoman itu juga dibuat dalam rangka perundingan bilateral untuk membuat
perjanjian internasional dengan negara lain. Pasal ini mewajibkan delegasi Republik
Indonesia ke setiap perundingan, baik multilateral maupun bilateral, untuk membuat
pedoman yang mencerminkan posisi delegasi Republik Indonesia sebagai hasil
koordinasi antar departemen/instansi terkait dengan mempertimbangkan kepentingan
nasional.
Ayat (3)
Pedoman delegasi Republik Indonesia perlu mendapat persetujuan Menteri sebagai
pelaksana hubungan dan politik luar negeri. Hal ini diperlukan bagi terlaksananya
koordinasi yang efektlf di dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.
Materi yang dimuat dalam pedoman delegasi Republik Indonesia tersebut disusun atas
kerjasama lembaga negara dan lembaga pemerintah terkait yang menangani substansinya,
dan Departcmen Luar Negeri yang memberikan pertimbangan politisnya.
Ayat (4)
Pejabat lain adalah menteri atau pejabat instansi terkait sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Pasal 6
Ayat (1)
Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding
mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis
yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian
internasional.
Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan
disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal
hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan
membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi
masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/
approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan
perjanjian internasional.
Penandatanganan: merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua
pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandantanganan perjanjian internasional bukan
merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian
internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/
approval)
Ayat (2)
Penandatanganan suatu perjanjian internasional tidak sekaligus dapat diartikan sebagai
pengikatan diri pada perjanjian tersebut Penandatanganan suatu perjanjian internasional
yang memerlukan pengesahan, tidak mengikat para pihak sebelum perjanjian tsb
disahkan.
Pasal 7
Ayat (1)
Surat Kuasa (Full Powers) dikeluarkan oleh Menteri sesuai dengan praktik internasional
yang telah dikukuhkan oleh Konvensi Wina 1969.
Ayat (2)
Mengingat kedudukan Presiden sebagai kepala negara/kepala pemerintahan dan
kedudukan Menteri Luar Negeri sebagai pembantu presiden dalam melaksanakan tugas
umum pemerintahan di bidang hubungan luar negeri, Presiden dan Menteri Luar Negeri
tidak memerlukan Surat Kuasa dalam menandatangani suatu perjanjian internasional.
Pejabat negara selain Presiden dan Menteri Luar Negeri memerlukan Surat Kuasa. Dalam
praktik dewasa ini, Surat Kuasa umumnya diberikan oleh Menteri Luar Negeri kepada
pejabat Indonesia, termasuk Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik
Indonesia, dalam menandatangani, menerima naskah, menyatakan persetujuan negara
untuk mengikatkan diri pada perjanjian dan menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan
dalam pembuatan perjanjian internasional. Dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri
mendelegasikan kepada Menteri Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Praktek penyatuan Surat Kuasa dan Surat Kepercayaan biasanya terjadi dalam prosedur
pembuatan dan pengesahan perjanjian multilateral yang diikuti oleh banyak pihak.
Praktek semacam ini hanya dimungkinkan apabila telah disepakati dalam konferensi yang
menerima (adopt) suatu perjanjian internasional dan ditetapkan oleh perjanjian
internasional tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Pensyaratan dan Pernyataan dilakukan atas perjanjian internasional yang bersifat
multilateral dan dapat dilakukan atas suatu bagian perjanjian internasional sepanjang
pensyaratan dan pernyataan tersebut tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan
dibuatnya perjanjian tersebut. Pensyaratan hanya dapat dilakukan apabila tidak dilarang
oleh perjanjian internasional tersebut. Dengan pensyaratan atau pernyataan terhadap
suatu ketentuan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia secara hukum
tidak terikat pada ketentuan tersebut.
Ayat (2)
Penegasan kembali tersebut dituangkan dalam instrumen pengesahan seperti piagam
ratifikasi atau piagam aksesi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang
disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan
mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Ayat (2)
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pasal 10
Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan
materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian.
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan
keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang.
Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri beserta persetujuannya
oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pasal 11
Ayat (1)
Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang
mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi
memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu
singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis
perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, di antaranya adalah perjanjian induk yang
menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik,
perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama
perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.
Ayat (2)
Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintah, walaupun
tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut karena
pada umumnya pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi perjanjian
internasional di bidang teknis. Di dalam melaksanakan fungsi dan wewenang Dewan
Perwakilan Rakyat dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan Pemerintah
mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan
kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 12
Ayat (1)
Di dalam menyiapkan rancangan undang-undang bagi pengesahan suatu perjanjian
internasional perlu memperhatikan Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di
dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang
dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Pasal 14
Lembaga penyimpan (depositaly) merupakan negara atau organisasi internasional yang
ditunjuk atau disebut secara tegas dalam suatu perjanjian untuk menyimpan piagam
pengesahan perjanjian internasional. Praktik ini berlaku bagi perjanjian multilateral yang
memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpan selanjutnya memberitahukan semua pihak
pada perjanjian tersebut setelah menerima piagam pengesahan dari salah satu pihak.
Pasal 15
Ayat (1)
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan adanya pengesahan dalam
pemberlakuan perjanjian tersebut dan memuat materi yang bersifat teknis atau merupakan
pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, dapat langsung berlaku setelah
penandatanganan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik atau setelah melalui
cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak pada perjanjian internasiona.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori tersebut di antaranya adalah perjanjian yang
secara teknis mengatur kerja sama di bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata,
penerangan, kesehatan, keluarga berencana, pertanian, kehutanan, serta kerja sama antar
propinsi dan antar kota.
Ayat {2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1) s/d Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "perubahan yang bersifat teknis administratif" adalah perubahan
yang tidak menyangkut materi pokok perjanjian, misalnya perubahan mengenai
penambahan anggota suatu dewan/komite atau penambahan salah satu bahasa resmi
perjanjian internasional. Perubahan semacam ini tidak memerlukan pengesahan dengan
peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan pengesahan perjanjian yang diubah
tersebut.
Yang dimaksud dengan "prosedur sederhana" adalah pengesahan yang dilakukan melalui
pemberitahuan tertulis di antara para pihak atau didepositkan kepada negara/pihak
penyimpan perjanjian.
Pasal 17 Ayat (1) s/d Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Suatu perjanjian internasional dapat berakhir apabila salah satu butir dalam pasal ini
sudah terjadi. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian internasional akan berakhir
pada saat perjanjian internasional tersebut berakhir.
"Hilangnya objek perjanjian" sebagaimana dimaksud pada butir (g) pasal ini dapat terjadi
apabila objek dari perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi.
"Kepentingan nasional” sebagaimana dimaksud pada butir (h) pasal ini harus diartikan
sebagai kepentingan umum (public interest), perlindungan subjek hukum Republik
Indonesia, dan yurisdiksi kedaulatan Republik Indonesia.
Pasal 19 s/d Pasal 22
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4012

HmI Komisariat H.A.P UNSUB ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO